2 Regulasi Perlu Diperhatikan Pengelola Gedung Guna Cegah Kebakaran

Sistem proteksi pasif juga berperan dalam proses penanggulangan kebakaran.

Surabaya, isafetymagazine.com – Staf Pengajar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Airlangga (Unair), Dr Neffrety Nilamsari, SSos MKes menilai pembangunan gedung tinggi perlu mengacu dua regulasi.
Pertama, Peraturan Menteri Republik Indonesia (Permen RI) Nomor 36 Tahun 2005 Pasal 59 dan kedua Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 14 Tahun 2017.
 
“Pada kedua peraturan ini, mestinya pengelola atau pemilik gedung itu tunduk pada kedua regulasi ini supaya terpenuhi kriteria utama suatu bangunan dimana harus memiliki sistem proteksi aktif maupun pasif,” katanya pada Selasa (4/2/2025).
 
Dengan begitu pengelola gedung harus memiliki proteksi aktif yang dapat menjadi langkah untuk mencegah atau menanggulangi kebakaran.
 
Langkah ini dilakukan dengan penyediaan alat pemadam api ringan (APAR), pembangunan instalasi hidran, dan pemasangan alarm system.
 
“Kalau alarm system tentunya juga dilengkapi dengan detektor, bisa detektor panas ataupun detektor asap,” ujarnya.
 
Sistem proteksi pasif juga berperan dalam proses penanggulangan kebakaran yang dapat membantu korban terdampak agar bisa segera melakukan proses evakuasi untuk menyelamatkan diri.
 
Pada kejadian terakhir itu, setelah investigasi ternyata gedung tersebut tidak memiliki jalur evakuasi yang diperbarui.

Dalam artian korban atau penghuni disitu kesulitan menemukan jalan keluar akhirnya terjebak di suatu tempat sehingga ditemukan sudah tak bernyawa.
 
“Itu seharusnya menjadi konsen supaya tidak terjadi kegagalan sistem proteksi kebakaran,” ujarnya.
 
Neffrety Nilamsari mengemukakan pengelola gedung mesti mengoptimalkan peranan jalur evakuasi pada suatu gedung tinggi agar peluang keselamatan penghuni mampu lebih besar.
 
Hal ini bermula dari kesadaran diri masing-masing untuk dapat mengidentifikasi potensi bahaya dan sosialisasi dari pihak pengelola gedung.
 
Selain kesadaran, harus ada kepedulian dari pihak gedung yang mana harus memberikan petunjuk yang terkait dengan rute peta jalur evakuasi dan juga sosialisasi.

“Bisa melalui media suara, audio visual, atau pada board di pintu masuk ataupun juga bisa dipasang di setiap lantai yang secara berulang atau berkala bisa diputar,” tuturnya.
 
Penghuni harus mampu berupaya secara mengonfirmasi kepada pihak pengelola gedung terkait dengan kejelasan sistem proteksi maupun terkait pelatihan simulasi kebakaran.
 
“Hal-hal seperti itu bukan suatu hal yang bikin repot pengelola gedung tapi itu adalah hak setiap orang yang tentunya kita mengeluarkan uang kita butuh aman dan nyaman,” ujarnya.
 
Antisipasi mandiri juga perlu dilakukan penghuni apabila terdapat ketidakpedulian pihak pengelola gedung dengan penghuni.
 
“Kita harus punya inisiatif untuk pencegahan pribadi maupun upaya pengendalian dengan menghafalkan rute jalur keluar, kemudian kita bisa menyediakan APAR sebagai antisipasi kebakaran, jadi harus ada kesadaran dulu,” ujarnya.
 
Neffrety Nilamsari berharap peran serta aktif dan kolaborasi dari seluruh pihak agar mampu menciptakan keamanan, kenyamanan, dan perlindungan terhadap semua penghuni gedung-gedung bertingkat.
 
“Mari tingkatkan kerja sama berkelanjutan antara universitas, pengelola gedung, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Surabaya supaya lebih harmonis agar kebakaran dapat dicegah,” ucapnya. (una/adm)
 
 
 

Exit mobile version