Health

Bagaimana Kelelahan Mental Bisa Dialami Pekerja?

Burn out mengalami banyak dampak yang bisa meluas ke berbagai area dalam kehidupan seseorang.

Jakarta, isafetymagazine.com – Psikolog Klinis Nirmala Ika Kusumaningrum mengemukakan pekerja kantoran dan pekerja lapangan berpotensi mengalami burnout (kelelahan fisik, mental, dan emosi) dalam bekerja.

Jadi, karyawan yang bekerja di dalam dan di luar ruangan dapat mengalami kelelahan yang sama.

“Bukan dilihat di mana (lokasi) pekerjaannya. Burnout bisa terjadi pada pekerjaan apapun termasuk jurnalis, sangat mungkin. Padahal bisa dibilang kerja jurnalis bisa di ruangan atau bisa di lapangan,” katanya di Jakarta pada Jumat (23/9/2022).

Dengan demikian, tingkat kelelahan tidak hanya bisa dilihat dari jenis dan lokasi pekerjaannya saja, melainkan lingkungan yang membentuk budaya kerja.

Contohnya, pekerja kantoran di perkotaan tidak lepas dari relasi dengan atasan dan rekan kerja yang bisa menguras energi. Apalagi, jika budaya kerja lebih condong mengutamakan persaingan.

Hal yang sama juga diutarakan Psikolog Klinis Muthmainah Mufidah bahwa pekerja kantoran dan lapangan menguras energi yang sama. Bahkan, mereka bekerja dengan pikiran dan fisik yang sama beratnya.

“Pekerjaan yang melelahkan secara pikiran bisa berdampak ke fisik, perasaan, maupun tindakan kita. Jadi wajar jika ada kelelahan fisik meski merasa pekerjaannya tidak banyak bergerak atau di dalam ruangan saja,” ujarnya.

Dengan begitu, Nirmala menilai budaya kerja yang sehat mesti dibangun perusahaan dengan mengutamakan keselarasan bukan persaingan. Jadi, sikap saling menghargai dan saling terbuka dalam mengutarakan pendapat dapat terbentuk di antara pekerja.

“Saling dukung dan saling menghargai, termasuk ketika pekerjaannya segini, ya, dibayarnya segini. Jangan kalau si A yang kerja dibayarnya lebih, kalau si B tidak. Itu kan berarti sudah tidak menghargai,” ujarnya.

Saat pekerja mengalami burnout, maka hal ini tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan, tetapi pada relasi sosial termasuk relasi dengan keluarga yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pekerjaan.

“Relasi sosial dengan orang-orang akan berpengaruh, bawaannya sensitif atau marah terus atau bahkan kadang tidak menyadari, bisa juga kena ke orang-orang lain yang tidak ada hubungannya, seperti keluarga di rumah, kan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan,” tutur Nirmala.

Mufidah menambahkan burn out mengalami banyak dampak yang bisa meluas ke berbagai area dalam kehidupan seseorang seperti perasaan dan pikiran negatif berlebihan (intens dan sering).

“Kehilangan minat melakukan berbagai hal, kehilangan dorongan mengembangkan diri, meragukan diri atau memandang diri secara negatif, merasa lebih sensitif atau sulit mengelola emosi, masalah kesehatan fisik, hingga gangguan kesehatan mental,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Umum (Ketum) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (ITJI), Herik Kurniawan mengakui jurnalis sudah sangat terbiasa dengan kondisi lapangan yang berubah-ubah.

Bahkan, ketika jurnalis mengalami masalah kesehatan, maka dia tidak menghiraukannya. Padahal, kesehatan fisik dan mental jurnalis sangat memengaruhi kualitas pekerjaan.

“Jurnalis itu emang udah biasa kerja di lokasi gitu. Kadang nih jurnalis yang kondisi kesehatannya terganggu tapi kayak yaudah gitu, malah cuek aja,” ucapnya.

Walaupun demikian, jurnalis adalah manusia biasa yang harus menjaga kesehatannya, sehingga perusahaan diminta menyediakan fasilitas kesehatan (faskes) terutama untuk mental.

Para jurnalis dan perusahaan diharapkan bisa memperhatikan kesehatan fisik dan mental lantaran banyak tantangan dan tekanan yang dialaminya.

Kondisi ini bisa memengaruhi mentalnya, sehingga dibutuhkan fasilitas psikolog untuk konsultasi.

“Padahal kita manusia biasa gitu kan, kadang yang gilanya itu beberapa perusahaan enggak ada jaminan kesehatan, bahkan terkait mental gitu,” ujarnya.

Pendapat yang sama diungkapkan Ketum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito mengutarakan berita yang baik bisa dihasilkan oleh jurnalis yang sehat secara fisik dan mental.

“Kendalanya tidak semua media memiliki standar misalnya cek psikolog gitu, kan kita tahu untuk menghasilkan berita baik, pekerja harus sehat fisik dan mental. Kalau ada gangguan memengaruhi kerjanya di lapangan,” ujarnya.

Walaupun demikian, Psikolog Yayasan Pulih, Jackie Viemilawati mengungkapkan sejumlah jurnalis menolak kondisinya sedang kurang baik lantaran dia khawatir dinilai lemah.

“Kerja jurnalis kan memang berat ya, bisa dibilang itu konsekuensinya, tapi terkadang ada yang tidak mau terbuka karena takut dibilang lemah gitu. Padahal itu berpengaruh pada kesehatan mentalnya,” ujarnya. (ant/sua/adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button