Bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny Roboh, PII Riau Ingatkan Penegakan UU Keinsinyuran

IMB/PBG merupakan instrumen hukum yang memastikan bangunan telah diverifikasi sesuai standar keselamatan, tata ruang, dan keandalan struktur.

Pekanbaru, isafetymagazine.com – Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Wilayah Riau menyampaikan keprihatinan mendalam atas robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim).

Kejadian ini dikategorikan sebagai kegagalan bangunan. Insidennya terjadi pada Senin, 29 September 2025 yang menewaskan sedikitnya 10 orang dan melukai puluhan santri.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hingga Jumat (3/10/2025), korban mencapai 10 orang meninggal dan 103 orang selamat.

BNPB menegaskan, ambruknya bangunan ini termasuk dalam kategori kegagalan teknologi atau konstruksi, karena fondasi tidak memadai untuk menahan beban tambahan.

Hal ini termasuk pengecoran lantai empat yang dilakukan pada hari kejadian.

Pakar teknik sipil ITS, Mudji Irmawan, menilai pembangunan musala itu tidak terencana sejak awal—dirancang hanya satu lantai, tetapi kemudian ditambah menjadi empat lantai tanpa perhitungan struktural matang.

Ketua PII Riau, Ir. Ulul Azmi, ST., M.Si., CST., IPM., ASEAN Eng., menegaskan kasus Sidoarjo adalah contoh nyata kegagalan bangunan sekaligus dugaan malapraktik keinsinyuran yang seharusnya dapat dicegah melalui praktik keinsinyuran yang profesional, legal, dan beretika.

“Setiap insinyur wajib memiliki STRI (Surat Tanda Registrasi Insinyur) sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran. Tanpa STRI, insinyur tidak berhak melakukan praktik keinsinyuran,” kata Ulul Azmi.

“Orang yang bukan insinyur dilarang keras melakukan praktik keinsinyuran, karena melanggar hukum dan membahayakan keselamatan publik. Kasus Sidoarjo adalah contoh nyata, ketika terjadi malapraktik keinsinyuran maka korban tidak bisa kita prediksi—bisa puluhan bahkan ratusan jiwa melayang. Demikian pula, setiap pembangunan wajib memiliki IMB/PBG (Perizinan Bangunan Gedung) sebagai bukti legalitas teknis.”

Menurut Ulul Azmi, UU No. 11 Tahun 2014, keinsinyuran adalah kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah, daya guna, keselamatan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat, serta kelestarian lingkungan.

STRI merupakan bukti tertulis yang diberikan kepada insinyur yang telah memiliki sertifikat kompetensi insinyur, sebagai syarat legal untuk melakukan praktik keinsinyuran.

Pasal 10 menegaskan bahwa setiap insinyur yang melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia wajib memiliki STRI.

Pasal 15 dan 16 menyebut insinyur yang melakukan praktik tanpa STRI atau lalai menimbulkan kerugian dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara, denda, pembekuan, hingga pencabutan STRI.

Sanksi dalam UU No. 11 Tahun 2014 juga mengatur secara jelas. Pasal 50 ayat (1) menyatakan setiap orang yang bukan insinyur tetapi menjalankan praktik keinsinyuran dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.

Pasal 50 ayat (2) menyebut jika akibat praktik ilegal itu terjadi kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa, atau kegagalan bangunan, pelaku dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Pasal 51 menegaskan bahwa insinyur yang lalai dalam praktik keinsinyuran sehingga menyebabkan kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa, atau kegagalan pekerjaan dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Dalam Pasal 3 huruf b ditegaskan bahwa tujuan pengaturan keinsinyuran adalah melindungi masyarakat dari malapraktik keinsinyuran.

Selain STRI, IMB/PBG merupakan instrumen hukum yang memastikan bangunan telah diverifikasi sesuai standar keselamatan, tata ruang, dan keandalan struktur.

Tanpa IMB/PBG, pembangunan dikategorikan ilegal dan berpotensi menimbulkan kegagalan bangunan.

PII Riau menyerukan langkah konkret untuk memperkuat tata kelola pembangunan dan keinsinyuran di Indonesia.

Pertama, setiap pembangunan wajib melibatkan insinyur pemegang STRI. Kedua, praktik keinsinyuran hanya boleh dilakukan oleh insinyur sah, bukan pihak di luar profesi.

Ketiga, perhitungan struktur dan daya dukung tanah wajib dilakukan sejak tahap awal. Keempat, penggunaan material serta metode konstruksi harus sesuai standar mutu nasional.

Kelima, audit teknis dan pengawasan berkala harus dilaksanakan oleh insinyur tersertifikasi.

Keenam, kepatuhan terhadap IMB/PBG serta penegakan UU Keinsinyuran harus dijalankan konsisten tanpa kompromi.

Ketua PII Riau juga mengingatkan kepada semua sektor, baik pendidikan, yayasan, maupun sektor publik lainnya agar menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting.

Pembangunan fasilitas pendidikan, pesantren, sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas publik lain harus dipastikan sesuai kaidah keinsinyuran, melibatkan insinyur pemegang STRI, serta mematuhi IMB/PBG.

Jangan sampai kejadian serupa terjadi lagi di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau, karena keselamatan masyarakat adalah prioritas utama yang tidak bisa ditawar.

Ulul Azmi mengemukakan PII Riau siap berkolaborasi dengan pemerintah daerah, lembaga pendidikan, yayasan, dan sektor publik lainnya untuk memastikan setiap pembangunan memenuhi standar teknis dan regulasi.

“Kami membuka ruang kerja sama dengan seluruh stakeholder agar pembangunan di Riau tidak hanya cepat, tapi juga aman, legal, dan sesuai prinsip keinsinyuran,” ucapnya.

“Ini demi keselamatan masyarakat, keberlanjutan pembangunan, serta terciptanya rasa aman bagi semua.” (adm)

Exit mobile version