Gas Air Mata Penyebab Kematian Saat Kerusuhan Kanjuruhan?

Regulasi penggunaan gas air mata mengacu pada Protocol Geneva (Protokol Jenewa) tahun 1925 dan Chemical Weapon Convention (CWC) tahun 1993.

Jakarta, isafetymagazine.com – Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kerusuhan Kanjuruhan menilai penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa oleh kepolisian adalah pelanggaran.

Apalagi, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bukan military police (polisi berbasis militer), tetapi civilian police (polisi berbasis sipil).

“Jadi, bukan senjata untuk mematikan, melainkan senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi adalah justru mematikan. Jadi, ini harus diperbaiki,” kata Anggota TGIPF Rhenald Kasali di Jakarta pada Senin (10/10/2022).

Penggunaan gas air mata yang sudah kedaluwarsa dicurigai oleh TGIPF sudah dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan. Kecurigaan itu terlihat dari para korban yang matanya mulai menghitam dan memerah.

“Ini sedang dibahas di dalam (tim). Jadi, memang ada korban yang hari itu dia pulang tidak merasakan apa-apa, tetapi besoknya matanya mulai hitam. Setelah itu, matanya menurut dokter perlu waktu sebulan untuk kembali normal. Itu pun kalau bisa normal,” ucapnya.

Pada kesempatan terpisah, Polri mengakui gas air mata sudah kedaluwarsa digunakan saat kerusuhan suporter di Stadion Kanjuruhan. Namun, efek yang ditimbulkan dari cairan kimia itu akan berkurang dibandingkan yang masih berlaku.

“Ada beberapa yang ditemukan (gas air mata) pada tahun 2021, saya masih belum tahu jumlahnya, tetapi ada beberapa,” ucap Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo di Jakarta.

Namun, sebagian besar gas air mata yang dipakai berwarna merah dan biru atau bagian dari tiga jenis gas air mata yang dipakai Brigade Mobil (Brimob) Polri selain warna hijau.

Penggunaannya gas air mata oleh Brimob diatur sesuai dengan eskalasi massa dan tingkat kontijensi yang terjadi di lapangan.

Gas air mata warna hijau digunakan pertama berupa smoke (asap) saat ditembakkan terjadi ledakan di udara yang berisi asap putih. Gas air mata kedua berwarna biru untuk menghalau massa bersifat sedang.

“Jadi, kalau klaster dalam jumlah kecil digunakan gas air mata tingkat sedang,” ucap Dedi Prasetyo.

Gas air mata warna merah untuk mengurangi massa dalam jumlah besar.

“Jadi, mengutip kata pakar, semua tingkatan ini, CS atau gas air mata dalam tingkat tertinggi pun tidak ada yang mematikan,” ucapnya.

Dedi Prasetyo mengakui setiap gas air mata mempunyai batas waktu penggunaan, tapi ini berbeda dengan makanan yang menimbulkan jamur dan bakteri hingga bisa mengganggu kesehatan.

Ketika gas air mata sudah kedaluwarsa ditembakkan akan terjadi partikel-partikel seperti serbuk bedak. Partikel-partikel lebih kecil yang dihirup, kemudian kena mata mengakibatkan perih.

“Jadi, kalau misalnya sudah expired, justru kadarnya berkurang secara kimia, kemudian kemampuan gas air mata ini juga menurun,” kata Dedi Prasetyo.

Gas air mata yang berbahan dasar kimia berkebalikan dari sifat makanan yakni saat kedaluwarsa, kadar kimianya berkurang. Hal ini sama dengan efektivitas gas air mata ini ketika ditembakkan tidak bisa lebih efektif lagi.

Kekurangan Oksigen
Bahkan, penggunaan gas air mata dinilai tidak menimbulkan iritasi mata, pernafasan dan gangguan pada kulit. Bahkan, jurnal ilmiah diketahui belum menyebutkan ini berakibat fatalitas atau kematian seseorang.

“Kalau misalnya terjadi iritasi pada pernafasan, sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah menyebutkan bahwa ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia,” ujarnya.

Dokter spesialis paru, penyakit dalam, telinga hidung tenggorokan (THT), dan mata Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Saiful Anwar Malang menyebutkan tidak satupun korban yang meninggal dunia dan luka-luka akibat gas air mata.

“Penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi desak-desakan, terinjak-injak, bertumpuk-tumpukkan, mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini jatuh korban cukup banyak, jadi perlu saya sampaikan seperti itu,” ucap Dedi Prasetyo.

Begitupula Guru Besar Taksikolgi Universitas Udayana I Made Agus Gelgel Wirasuta mengemukakan gas air mata hanya berakibat perih mata, hidung dan mulut yang akan langsung bereaksi jika terpapar.

Namun tidak ada toksisitas yang mengakibatkan kematian.

“Saya mengutip Profesor Made Gelgel, termasuk Dr. Mas Ayu Elita, bahwa gas air mata atau CS ini dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” tuturnya.

Dokter spesialis mata juga menyebutkan ketika kena gas air mata maka pada mata terjadi iritasi sama seperti ketika kena air sabun, terjadi perih tapi beberapa waktu bisa sembuh dan tidak mengakibatkan fatal.

“Termasuk Profesor Made Gelgel menyampaikan dalam gas air mata tidak ada racun yang mengakibatkan matinya seseorang,” ucap Dedi Prasetyo.

Protokol Gas Air Mata
Walaupun demikian, staf pengajar Teknologi Pertahanan Universitas Pertahanan (Unhan) dan Universitas Indonesia (UI) Dr. Mas Ayu Elita Hafizah, berpendapat penggunaan gas air mata hanya diizinkan dengan suatu standar oleh aparat penegakan hukum dan tidak diizinkan untuk peperangan.

Regulasi penggunaan gas air mata mengacu pada Protocol Geneva (Protokol Jenewa) tahun 1925 dan Chemical Weapon Convention (CWC) tahun 1993.

“(Regulasi) ini menjadi dasar penggunaan CS bagi kepolisian seluruh dunia, itu diperbolehkan, sama di Indonesia,” katanya.

Dedi Prasetyo mengakui berapa jumlah gas air mata kedaluwarsa yang digunakan saat kericuhan di Stadion Kanjuruhan belum diketahuinya. Saat itu hanya diketahui gas air mata yang masih berlaku berwarna merah dan biru.

“Ada beberapa yang ditemukan (gas air mata) tahun 2021, saya masih belum tahu jumlahnya, tapi ada beberapa,” ujat Dedi Prasetyo.

Tim investigasi masih bekerja di lapangan melakukan penyelidikan termasuk penggunaan gas air mata. Jika ke depan jurnal ilmiah baru menyebutkan bahaya penggunaan gas air mata.

“Tentunya ini masih butuh pendalaman-pendalaman lebih lanjut. Apabila ada jurnal-jurnal ilmiah yang baru, temuan-temuan yang baru, tentu akan menjadi acuan bagi tim investigasi bentukan Bapak Kapolri yang masih terus bekerja dan menyelesaikan kasus ini sesuai dengan perintah Bapak Presiden,” ujarnya.

Temuan gas air mata kedaluwarsa ini diungkapkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasarkan informasi yang diperolehnya. Saat ini informasi tersebut sedang didalami.

11 Tembakan
Sementara itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI akan menyelidiki dugaan gas air mata sudah kedaluwarsa yang ditembakkan oleh aparat kepolisian di Stadion.

“Soal kedaluwarsa itu informasinya memang kami dapatkan. Akan tetapi, memang perlu pendalaman,” ujar Anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam.

Penembakan gas air mata diduga sebagai pemicu utama timbul kepanikan sehingga banyak suporter atau Aremania yang turun berebut untuk masuk ke pintu keluar.

Dengan kondisi mata yang sakit, dada sesak, susah bernapas, dan sebagainya menuju pintu yang terbuka namun kecil. Kejadian ini berakibat para suporter berhimpitan sehingga menyebabkan kematian.

“Jadi, eskalasi yang harusnya sudah terkendali kalau lihat dengan cermat, terkendali sebenarnya, itu terkendali. Akan tetapi, makin memanas ketika ada gas air mata,” ucapnya.

Komnas HAM juga menyoroti soal manajemen terkait dengan kuota di Stadion Kanjuruhan. Hal tersebut juga menambah konteks dalam melihat peristiwa nahas itu.

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengakui sebanyak 11 tembakan gas air mata dilepaskan petugas dalam tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Dari jumlah ini tujuh ditembakkan ke tribun selatan Stadion Kanjuruhan.

“Terdapat 11 personel yang menembakkan gas air mata, ke tribun selatan kurang lebih tujuh tembakan, utara satu tembakan dan ke lapangan tiga tembakan,” ucapnya. (ant/adm)

Exit mobile version