Energi

Implementasi PLTS Atap Sulit Berkontribusi Bagi Pencapaian Target EBT

PLTS Cirata 145 MW yang digadang-gadang menjadi PLTS terapung terbesar di Asia masih dalam tahap konstruksi, meskipun ini telah disepakati pada awal 2020.

Jakarta, isafetymagazine.com – Pemerintah mesti mengejar target energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 lantaran energi terbarukan pada bauran energi primer hanya mencapai 12% pada 2022.

Salahsatu langkah ini bisa dilakukan dengan mematok penerapan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap sebesar 3,6 Giga Watt (GW) pada dua tahun ke depan, tapi realisasinya juga baru meraih 276,1 Mega Watt (MW) pada tahun lalu.

Padahal, energi surya fotovoltaik dari PLTS Atap mampu menjadi tulang punggung bauran energi terbarukan. Itu tidak hanya sampai 2025, tapi untuk target net-zero emission (NZE) pada 2060, bahkan lebih cepat.

“Sayangnya pengembangan PLTS skala besar di Indonesia masih belum terlihat dan PLTS Atap juga terhambat karena Permen ESDM nomor 26 tahun 2021 yang tidak diimplementasikan, termasuk adanya pembatasan kapasitas dan upaya mempersulit perizinan PLTS Atap yang dilakukan PLN,” kata Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa pada Selasa (21/3/2023).

Sejak awal 2022 terjadi pembatasan kapasitas PLTS Atap sebesar 10% sampai 15% bagi berbagai pelanggan mulai dari residensial (rumah tangga) hingga industri.

Meskipun, ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 yang mengizinkan hingga maksimum 100% daya listrik terpasang.

Dengan pembatasan kapasitas PLTS Atap juga menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakannya, meskipun ini telah tumbuh sejak 2018 didukung Permen ESDM No. 49/2018.

Namun, perkembangan pengguna dan kapasitas terpasang pada 2022 tidak setinggi lima tahun sebelumnya.

Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI) menambahkan kondisi ini sangat berpengaruh terhadap lapangan pekerjaan bagi pertumbuban industri energi surya.

Jadi, banyak proyek pemasangan PLTS atap tertunda sejak tahun lalu akibat ketidakjelasan implementasi aturan, sehingga pekerjaan hijau (green jobs) di sektor ini juga terancam hilang.

“Banyak perusahaan EPC (Engineering, Procurement, and Construction) yang harus berhenti menjalankan usaha, karena sejak Permen ESDM No. 26/2021 muncul dan tidak dilaksanakan sepenuhnya, pemasangan menjadi tertunda dan bahkan batal,” ujar Bendahara Umum (Bendum) PERPLATSI, Muhammad Firmansyah.

Dengan demikian, PERPLATSI menolak draft rencana revisi Permen ESDM No. 26/2021 yang berisi penghentian ekspor dan impor listrik dari pengguna PLTS Atap dan sistem kuota per daerah.

Pengguna PLTS Merugi
Erlangga Bayu yang mewakili Asosiasi PLTS Atap (APSA) Bali menambahkan banyak kendala penerapan PLTS Atap di Bali seperti dari PLTS yang sudah terpasang hanya sebagian disetujui oleh PLN.

“Padahal, masyarakat memasang sesuai Permen ESDM nomor 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan,” ujarnya.

Apalagi, masyarakat sudah membayar down payment/DP (uang muka) untuk pasang PLTS Atap, namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut.

Selain itu masyarakat memasang PLTS Atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan.

“Bagi perusahaan PLTS yang masih skala kecil seperti kami ini sangat berdampak, karena klien tidak mau melunasi pembayaran sampai PLN memasang meteran ekspor impor, bahkan ada perusahaan yang sampai mem-PHK karyawan,” tuturnya.

PERPLATSI dan APSA Bali sudah berusaha melakukan advokasi langsung dengan berkirim surat ke Gubernur, DPR, DPD, hingga Kementerian ESDM. Namun, sampai ini belum terjadi perubahan yang signifikan.

Pada kesempatan yang sama, Ketum Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Sumaryo, mengungkapkan beberapa dari pengguna PLTS Atap mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid).

Langkah ini untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan.

“Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban,” tuturnya.

Kini banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal.

Meski demikian, Permen ESDM No. 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya.

Berdasarkan skenario NZE Indonesia 2060 dari International Energy Agency (IEA) dan Kementerian ESDM, menyebutkan hingga 2030 diperlukan kapasitas PLTS sebesar 65 GW.

Selain itu energi surya dan angin akan berkontribusi hingga 55% dari total semua sumber energi kelistrikan hingga 2060.

Sayangnya, selama lima tahun terakhir hanya terdapat sedikit PLTS berkapasitas 20 MW yang telah dilelang dan beroperasi secara baik.

PLTS Bali Barat dan Bali Timur berkapasitas 2×25 MW telah dilelang sejak 2019, tapi ini belum terlihat tanda-tanda konstruksi.

Pasalnya, negosiasi perjanjian jual beli listrik (PJBL) yang berkepanjangan dan ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang memerlukan waiver dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Mimpi PLTS Terapung
Sementara itu PLTS Cirata 145 MW yang digadang-gadang menjadi PLTS terapung terbesar di Asia masih dalam tahap konstruksi, meskipun ini telah disepakati pada awal 2020.

Padahal, PLN dan ACWA Power telah menandatangani nota kesepahaman untuk pengembangan PLTS terapung berkapasitas 110 MW di Saguling dan Singkarak pada KTT G20 Indonesia pada November 2022.

Namun, kapan pembangunan ini belum disebutkan sama sekali oleh kedua belah pihak.

Fabby Tumiwa menilai PLTS berskala besar di Indonesia sulit berkembang akibat tidak dilakukan perencanaan jangka panjang di sistem ketenagalistrikan.

Sebelum Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, proses lelang berjalan kurang konsisten dan kurang kompetitif. Selain itu lantaran skala keekonomian yang sulit tercapai karena lelang tersebar dan dalam skala kurang dari 20 MW.

“Hingga aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tidak didukung kesiapan industri dalam negeri,” ujarnya.

Ketum Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Linus Sijabat, mengungkapkan hingga saat ini hanya 5% utilisasi produk dari anggota APAMSI yang terpakai di Indonesia.

Persoalan TKDN untuk modul surya dan komponen pendukung lain bukan hanya persoalan ayam dan telur, melainkan juga adanya regulasi yang mendukung dan implementasinya yang konsisten dan serius.

“Selain itu, APAMSI juga memiliki aspirasi adanya dukungan investasi dari pemerintah dan dukungan pembiayaan dari perbankan dan lembaga finansial untuk menggenjot industri modul surya dalam negeri yang bisa kompetitif dengan produk yang tersedia di pasaran,” kata dia.

Linus Sijabat meneruskan sejak 2013 APAMSI telah mengupayakan investasi dalam jumlah besar untuk memajukan industri modul surya dalam negeri. Namun, ini belum berhasil akibat captive dan demand dari energi surya di Indonesia belum terlihat jelas.

Padahal, Pemerintah Indonesia memegang posisi Keketuaan ASEAN tahun 2023 dan ketahanan energi regional sebagai salah satu isu prioritas pemerintah Indonesia.

“Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan lintas negara, termasuk energi surya, harus menjadi agenda penting dalam keketuaan ini-terutama untuk pencapaian target energi terbarukan dan NZE, penurunan emisi, dan akses energi berkualitas,” tuturnya.

Selain itu dalam konteks ketahanan energi, sangat penting untuk memajukan industri energi surya di ASEAN hingga menjadi pemain penting di kancah internasional dan meningkatkan daya tarik ekonomi kawasan.

Menyikapi berbagai kendala sekaligus untuk menghidupkan industri energi surya dalam negeri, AESI, APAMSI, PERPLATSI, PPLSA, dan APSA Bali menyerukan Presiden Indonesia Joko Widodo untuk mengambil langkah konkrit yang suportif.

Selain itu menegaskan perlunya dukungan serius, segera, dan sistematis (3S) dari pemerintah, pelaku usaha, asosiasi, lembaga pembiayaan, hingga masyarakat luas. (adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button