New South Wales, isafetymagazine.com – Peserta Working Holiday Visa (WHV) asal Indonesia, Jaya Daud Munthe mengalami kecelakaan kerja berupa patah tulang di tempat bekerjanya yakni sebuah pabrik daging di New South Wales, Australia.
Hal ini terjadi akibat tertimpa kardus berisi ratusan kilogram daging domba.
“Saya sudah mau lari, tapi enggak keburu,” katanya kepada ABC Indonesia.
“Jadi saya tahan pakai tangan… Kaki kiri saya ke-twist… Saya dengar kakinya patah.”
Sebagai informasi, skema WHV dirancang oleh Pemerintah Australia bagi anak muda untuk mengisi kekosongan tenaga kerja di sektor-sektor penting, seperti pengolahan daging.
Kondisi ini mengkhawatirkan lingkungan kerja pemegang WHV seperti Jaya Daud Munthe.
Beberapa insiden kecelakaan yang ditemukan ABC Indonesia memunculkan pertanyaan tentang apakah perusahaan memanfaatkan ketidaktahuan pekerja asing tentang aturan keselamatan kerja di Australia.
Laporan berjudul ‘Backpacker Dispatches’ diterbitkan oleh Migrant Workers Centre pada Desember 2025 menyebutkan skema WHV berfungsi sebagai saluran yang secara faktual memberi upah rendah.
Skema ini tidak memiliki perlindungan, jalur kerja permanen, dan pengawasan yang merupakan bagian dari program tenaga kerja migran formal.
Penulis laporan ini, Lea Knopf mengaku dia pernah menjadi peserta WHV selama dua tahun lebih.
Peserta WHV terpapar ‘risiko cedera yang lebih tinggi’, karena jenis pekerjaan yang cenderung mereka ambil dan tidak diberi pelatihan dan informasi keselamatan kerja yang cukup.
Jaya Daud Munthe pindah dari Indonesia ke NSW pada akhir 2024 dengan harapan memperoleh upah yang lebih baik, sehingga bisa menabung untuk hari tua.
Ia meraih pekerjaan di pabrik daging Southern Meats di Goulburn pada Februari 2025.
Sebulan kemudian, tulang tangan kirinya retak akibat tertimpa kardus berisi daging domba yang berat di ruang pendingin pabriknya.
“Teman saya yang dari belakang sana itu kan tugasnya mendorong, nah dia mendorongnya itu terlalu kencang… Akhirnya siku-siku box dagingnya itu kena tangan saya,” katanya.
“Itu waktu pagi, sakit banget.”
Dengan begitu Jaya Daud Munthe tidak bisa bekerja selama dua minggu, dan pada hari pertama kembali masuk kerja, ia mengalami kecelakaan lagi.
Kasus cedera dan penyakit yang serius, atau kematian yang terjadi saat bekerja seharusnya dilaporkan kepada otoritas kesehatan dan keselamatan kerja di negara bagian setempat yakni SafeWork NSW.
Namun, juru bicara SafeWork NSW mengatakan mereka “belum menerima pemberitahuan tentang dugaan insiden” yang berkaitan dengan Jaya Daud Munthe.
Perusahaan dapat didenda hingga 50 ribu dolar Australia atau sekitar Rp545 juta jika tidak memberi tahu SafeWork NSW tentang insiden yang melibatkan cedera serius, penyakit, atau kematian.
Jaya Daud Munthe mengatakan ia memberi tahu agensi pemberi kerjanya, yang membantu mengurus klaim asuransi yang mencakup perawatan medis dan upahnya. Namun, agensi tersebut tidak pernah memberi tahu pihak berwenang.
Dia terkejut ketika perusahaan lamanya tidak melaporkan kasusnya kepada regulator keselamatan kerja.
“Mereka pasti menjaga track record, tapi kan kalau kenyataannya memang banyak kecelakaan kerja, ya seharusnya dilaporkan dong yang sesuai undang-undang yang berlaku,” katanya.
Namun, Jaya Daud Munthe mengatakan dia tidak berencana untuk menindaklanjuti masalah ini.
Setelah cedera dua kali di tempat kerja yang sama, ia merasa bahwa beban kerja dan risiko kecelakaan bekerja di pabrik daging tersebut tidak sepadan.
Akhirnya, Jaya Daud Munthe memutuskan untuk keluar dan bekerja di sebuah supermarket di Goulburn.
“Kayaknya saya enggak mau melaporkan masalah ini karena saya juga sudah resign,” katanya.
“Tapi ya mereka (perusahaan) ya salah.”
Juru bicara Menteri Kesehatan dan Keselamatan Kerja NSW, Sophie Cotsis mengatakan Jaya Daud Munthe perlu melaporkan insiden tersebut sebelum SafeWork NSW dapat menyelidikinya.
“Setiap pekerja berhak untuk pergi bekerja dan pulang dengan selamat di pengujung hari,” kata juru bicara tersebut.
Sementata itu Departemen Dalam Negeri Australia telah memberikan 321.116 visa pekerja liburan (WHV) dari Juli 2024 hingga akhir Juni 2025.
Visa ini berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang setiap 12 bulan.
Untuk memperpanjang visa selama satu tahun lagi, pemegangnya diwajibkan bekerja di sektor pertanian, perhotelan, pertambangan, atau konstruksi di wilayah regional selama minimal tiga bulan.
Program ini didirikan pada 1975 untuk peserta muda terutama bagi individu yang memenuhi syarat dari Kanada, Irlandia, dan Inggris Raya.
Sejak saat itu, daftar negara yang tercakup dalam program WHV telah bertambah menjadi setidaknya 40.
Menurut Lea yang menulis laporan Backpacker Dispatches, anak muda sering kali ingin memperoleh WHV karena alasan keuangan.
Dia mengatakan, banyak peserta WHV enggan melaporkan insiden pelecehan atau pelanggaran hak di tempat kerja karena mereka takut pemberi kerja mereka akan membatalkan visa mereka.
Asisten Sekretaris Serikat Pekerja NSW, Thomas Costa, mengatakan ‘sangat umum bagi pemberi kerja pekerja migran’ untuk tidak melaporkan kecelakaan di tempat kerja mereka.
Dia mengemukakan hal itu bisa jadi karena mereka berusaha ‘menghindari inspeksi dari regulator karena terlibat dalam praktik kerja yang tidak aman.’
“Sangat, sangat menyedihkan bahwa ada beberapa karyawan di luar sana yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keselamatan,” katanya.
Ketika kasus cedera yang relevan tidak dilaporkan, Thomas mengatakan, regulator yang bertugas memastikan tempat kerja memenuhi standar keselamatan, tidak dapat menyelidiki dan memeriksa perusahaan tersebut.
Pada kesempatan terpisah juru bicara Departemen Dalam Negeri, visa lain sedang diuji coba yang membuat pekerja untuk memperpanjang masa tinggal mereka di Australia.
Hal ini dilakukan sambil ‘mencari keadilan di tempat kerja’ untuk membantu pemegang WHV yang khawatir akan konsekuensi dari melaporkan praktik yang tidak aman.
Kuota WHV bagi anak muda Indonesia bertambah menjadi 5.000 per tahun di Australia. Program ini menjadi populer di kalangan pekerja Gen Z, terutama saat kesempatan kerja layak dan upah yang layak sedikit di Indonesia.
Peserta WHV dari Indonesia, Aini Rodianto bekerja di sebuah pabrik daging di Victoria selama sekitar satu tahun. Pada April 2024 rekan kerjanya secara tidak sengaja menyiram air yang hampir mendidih kepadanya saat sedang bersih-bersih.
“Pas saya sadar, saya menengok, saya teriak,” katanya.
“Dia belum sadar tuh pas saya teriak, dan air panas itu sudah masuk ke dalam boots saya. Bayangkan saja boots itu kan tingginya sebetis.”
Dengan begitu Aini Rodianto menjalani perawatan di rumah sakit (RS) selama seminggu dan menjalani operasi pada kakinya untuk mengganti kulit, terutama pada bagian yang paling terluka, yaitu pergelangan kaki dan tumitnya.
Gaji bulanan dan biaya perawatannya ditanggung oleh agen kerjanya, tetapi ia harus hidup dengan bekas luka bakar permanen.
Keselamatan kerja di perusahaannya tidak baik, karena kekurangan fasilitas dan staf yang memaksa orang untuk bekerja lebih dari seharusnya.
“Teman kerja yang menyiram air panas tersebut tidak memahami dengan benar pekerjaan membersihkan lantai tersebut,” ujarnya.
WorkSafe Victoria menindaklanjuti kasus Aini Rodianto, tetapi seorang juru bicara mengatakan, mereka tidak dapat mengomentari kasus individual.
Aini mengatakan, pernah mendengar tentang peserta WHV lainnya yang terluka di tempat kerjanya sebelumnya.
“Kalau menurut saya, di setiap sektor pekerjaan karena kita bekerja sebagai labourer, itu ada kemungkinan kita untuk kena injury sih apalagi pabrik daging,” katanya.
Aini Rodianto mengundurkan diri pada September dan pindah ke Queensland untuk kuliah. Namun, ia meminta untuk tidak menyebutkan nama perusahaan lamanya untuk menghindari dampak buruk di kemudian hari.
Saat Kunjungi Australia Peserta WHV lain yang bekerja di pabrik daging Melbourne juga menceritakan kisah serupa kepada ABC.
Seorang pekerja rumah potong hewan, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan mereka dipaksa bekerja dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Namun, selama inspeksi, manajemen akan menurunkan kecepatan mesin ke normal agar tidak tertangkap melanggar aturan.
Mereka juga mengatakan mesin-mesin tersebut sudah usang dan berkarat, dan bahwa para pekerja tidak dilatih dengan benar tentang cara menggunakan pisau.
Safe Work Australia mengatakan mereka tidak memiliki informasi spesifik mengenai cedera terkait pekerjaan yang dialami oleh pemegang visa liburan kerja atau migran.
“Data mengenai status visa pemohon, negara kelahiran, atau tahun kedatangan mereka di Australia, tidak dikumpulkan sebagai bagian dari proses klaim,” ujar juru bicara Safe Work Australia.
Lea mengatakan, ini perlu diubah dan menyarankan agar pemerintah memperkenalkan program ketenagakerjaan yang lebih teregulasi untuk menggantikan model WHV yang ada saat ini.
Dosen Kebijakan Publik di Universitas Sydney, Anna Boucher, mengatakan peserta WHV harus diberikan pelatihan di negara asal mereka sebelum datang ke Australia.
“Karena dengan begitu, orang-orang akan mengetahui hak-hak dasar ini sebelum mereka datang ke negara ini dan dapat bernegosiasi dengan pemberi kerja,” ujarnya.
Serikat pekerja diminta lebih terlibat dengan para peserta WHV dan menekankan kontribusi ‘besar’ yang diberikan oleh peserta WHV terhadap perekonomian Australia.
“Kami bisa bekerja tanpa pamrih,” tuturnya. (adm).
Sumber: ABC Indonesia dan kompas.com