Pengamat Sebut Jaminan K3 Hanya Diperoleh Pekerja Informal

Jakarta – Segara Research Institute melaporkan pertumbuhan angkatan kerja sebesar 3 juta sampau 4 juta setiap tahun. Dari jumlah ini hanya dapat diserap pasar sekita 1 juta tenaga kerja.

“Saat ini ekonomi RI hanya mampu menyerap sekitar 200.000 tenaga sektor formal setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, sehingga dengan PDB di kisaran 5%, maka sektor formal hanya mampu menyerap sekitar 1 juta sampai 1,2 juta tenaga kerja per tahun,” kata Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah pada Ahad (20/10/2024).

Dampak ketidakseimbangan antara pertumbuhan lapangan kerja formal dengan pertumbuhan angkatan kerja berakibat banyak angkatan kerja yang memilih pekerjaan informal seperti ojek online (ojol) sebagai penopang biaya hidup.

“Menumpuknya para pekerja informal itu, karena kegagalan pemerintah dalam menyediakan pekerjaan formal,” ujarnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Segara Research Institute bertajuk Potret Beban Kerja dan Penghasilan Pekerja Informal di Indonesia menyebutkan pekerjaan informal sebagai pengemudi taksi online dan pengemudi ojol menyerap lulusan S1 tertinggi dibandingkan pekerjaan informal lainnya.

Hasil survei itu menunjukan sebesar 26,53% dari responden pengemudi taksi online dan 17,42% dari responden pengemudi ojol adalah lulusan sarjana.

Banyaknya angkatan kerja yang memilih bekerja sebagai pengemudi taksi online dan ojol, karena keduanya memiliki banyak kelebihan dibandingkan sektor informal lainnya.

Pertama dari sisi penghasilan yang lebih besar, dimana rata-rata penghasilan per bulan Rp7,23 juta per bulan dan Rp5,36 juta per bulan.

Sementara pekerjaan informal lainnya seperti pengemudi konvensional hanya memperoleh penghasilan rata-rata sebesar Rp4,79 juta per bulan.

Dari hal terkait jaminan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang rata-rata pengemudi taksi online dan ojol memperoleh bantuan kedua fasilitasi tersebut. Sementara itu pekerja informal lainnya menyatakan hanya sedikit dari mereka yang mendapatkan fasilitas tersebut.

Pada sisi waktu atau jam kerja terlihat ojol atau taksi online memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel dalam menentukan sendiri jumlah jam kerja mereka.

Jadi, pemerintah diharapkan memberikan dukungan kebijakan yang tepat terhadap potret pekerja informal sehingga regulasi yang ada mampu melindungi pekerja informal termasuk di sektor ride hailing.

Ketika hendak menerbitkan regulasi terhadap gig worker, pemerintah perlu memahami kondisi, tingkat kesejahteraan, dan fasilitas yang dibutuhkan para pekerja informal itu. Selain itu, jangan sampai kebijakan tersebut mereduksi prinsip gig worker, karena akan merusak ekosistemnya.

Tugas pemerintah itu bukan memformalkan pekerjaan informal ke formal, tapi lebih kepada fokus pada penyerapan tenaga kerja di sektor formal.

“Karena informal seperti ojol ini sebenarnya hanya pekerjaan sementara ketika mereka tidak tertampung baik ketika mereka lulus, tidak mendapatkan pekerjaan, atau ketika terkena PHK. Karena tentu tidak ada yang bercita-cita bekerja sebagai ojol,” ujarnya. (adm)

Exit mobile version