Penjelasan Panglima TNI Terkait Kecelakaan Pesawat Super Tucano

Hasil investigasi awal kecelakaan dua pesawat Super Tucano menyebutkan ini terjadi akibat cuaca sangat buruk hingga menabrak gunung.

Jakarta, isafetymagazine.com – Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto akan mengevaluasi penyebab kecelakaan dua pesawat Super Tucano milik TNI Angkatan Udara (AU) setiap dua tahun sekali.

Langkah ini juga dilakukan kepada semua aspek termasuk Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia (alutsista).

“Alutsista itu ada evaluasi, kemudian apakah masih layak terbang atau masih bisa dirawat. Jadi kita selalu ada evaluasi, sedang kita evaluasi semua,” katanya pada Rabu (22/11/2023).

Salah satu visi dan misi yang akan dilakukan Agus Subiyanto adalah memperlengkapi matra TNI dengan perlengkapan yang baik (well-equipped).

Dia akan menggandeng industri pertahanan di dalam negeri untuk memenuhi perlengkapan yang akan digunakan secara perorangan ataupun satuan TNI, seperti senjata dan drone.

“Makanya tadi well equipped. sesuai dengan visi misi saya,” ujarnya.

Pada kesempatan terpisah TNI Angkatan Udara (AU) mengungkapkan hasil investigasi awal kecelakaan dua pesawat Super Tucano menyebutkan ini terjadi akibat cuaca sangat buruk hingga menabrak gunung.

”Dari awal sudah jelas nabrak gunung, dua lagi ya selamat karena masuk cuaca buruk, terus (dua pesawat) nabrak gunung. Terus sekarang detailnya nabrak gunungnya apa belum tahu, harus dianalisa,” kata Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AU Marsekal Pertama (Marsma) TNI R. Agung Sasongkojati pada Rabu (22/11/2023).

Langkah ini akan dianalisa lebih lanjut oleh tim investigasi berkoordinasi dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Dinas Meteorologi Angkatan Udara (AU).

”Karena masuk cuaca buruk terus nabrak gunung, terus sekarang detailnya nabrak gunungnya apa belum tahu, harus dianalisa, tapi yang jelas fase evakuasi ini yang memang terhalang oleh cuaca hujan terus di Pasuruan,” ucapnya.

Data-data yang masuk itu dikumpulkan, dianalisa, dan dikomparasikan dengan penyelidikan bidang lain seperti teknis pesawat mulai dari perawatan hingga kondisi pilot penerbangnya juga akan diselidiki.

”Kesimpulan itu sementara di satu bidang yang harus diselidiki, orangnya ditanyain, bagian perawatannya gimana, bagian penerbangan gimana, bagian pelayanannya, Air Traffic Controller (ATC), kemudian meteorologinya, baru kesimpulannya lebih,” tuturnya.

Seluruh proses itu minimal memerlukan waktu satu bulan, termasuk pembacaan dan analisa Voice and Data Recorder (VDR).

Tim juga akan melihat bukti-bukti bangkai pesawat dan bagian pesawat lain yang dikumpulkan di Lapangan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur (Jatim). Selanjutnya bukti-bukti itu dicek satu persatu sebelum dibuat analisa kesimpulan.

”(Penyelidikan memerlukan waktu) lebih dari sebulan, ngumpulkan di dalam hanggar, dibandingkan datanya dicek satu persatu, dicek lagi, diulangi lagi, jadi nggak seperti kita anu. Dia nggak bisa cepat-cepat anu, orangnya minimal sebulan,” ujarnya.

Menyoal usia Super Tucano, ucap R. Agung Sasongkojati, dipastikan keduanya masih berusia muda dari rangka, dan body frame. Kemudian, setelah usia 30 tahun dibutuhkan refurbish atau penguatan terhadap badan pesawat.

“Bahkan, dua pesawat yang jatuh tersebut memiliki kemampuan yang sama dengan pesawat baru,” tuturnya.

Walaupun demikian, pengadaan pesawat baru dengan peralatan modern merupakan sebuah tantangan. Karena, hal ini harus diadaptasi, sehingga ini tidak menjadi senjata melawan penggunanya.

“Ini kesempatan untuk berpikir dengan cara modern,” ujarnya.

Dua Super Tocano memiliki teknologi kursi pelontar dengan kecepatan 0,2 detik bisa melontarkan pilotnya dalam kondisi darurat. Namun, tidak diketahui mengapa kursi pelontar itu tidak digunakan yang akan terjawab setelah menganalisis flight data recorder (FDR).

“FDR kedua pesawat telah ditemukan. Bentuknya tidak besar seperti pesawat biasa, malah informasinya FDR itu kecil seperti memori handphone,” ucapnya.

R. Agung Sasongkojati mengemukakan keikutsertaan perwira administrasi dalam latihan terbang tersebut yakni Kolonel (adm) Widiono dinilai sebuah latihan yang tidak berbahaya.

“Agar mereka mengetahui bagaimana rasanya terbang,” ujarnya.

Apalagi ini untuk memperkuat dukungan kepada para pilot dalam upaya penerbangan.

Sebelumnya, kecelakaan dua pesawat TNI AU jenis Super Tucano terjadi di perbukitan Pegunungan Tengger tepatnya di Dusun Keduwung, Desa Jimbaran, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan.

Kedua pesawat ini bersama dua pesawat lainnya sedang menjalani latihan formasi terbang dari Lanud Abdulrahman Saleh Malang, pada Kamis (16/11/2023) sekitar pukul 10.51 WIB.

Dua pesawat yang dimaksud adalah nomor ekor TT-3111 dan TT-3103 terbagi atas TT-3111 berisi dua awak adalah Letkol Pnb Sandhra Gunawan (Frontseater) dan Kolonel Adm Widiono (Backseater).

Pesawat bernomor ekor TT-3103 berisi dua awak yakni Mayor Pnb Yuda A. Seta (Frontseater) dan Kolonel Pnb Subhan (Backseater).

Tiga korban yang dimakamkan di TMP Suropati, pada Jumat tersebut adalah Marsekal Pertama TNI (Anumerta) Subhan, Marsekal Pertama TNI (Anumerta) Widiono Hadiwijaya dan Kolonel Penerbang (Anumerta) Sandhra Gunawan.

Satu korban lain yakni Letkol Penerbang (Anumerta) Yuda A. Seta dimakamkan di TMP Madiun. (sic/inc/adm)

Exit mobile version