Pertumbuhan Gig Economy Masih Dibarengi Kerentanan Pekerja, Kepala Barenbang: Perlu Penguatan Regulasi

IFLP 2025 sebagai edisi perdana akan membahas isu pekerja gig yang terus berkembang seiring dengan digitalisasi.

Jakarta, isafetymagazine.com – Badan Perencanaan dan Pengembangan (Barenbang) Ketenagakerjaan Kemnaker RI menilai gig economy telah menjadi kekuatan baru di pasar kerja Indonesia.

Hal ini ditopang sekitar 4,4 juta pekerja di sektor transportasi, logistik, layanan kreatif, dan berbagai platform digital.

Walaupun demikian, pertumbuhan gig economy dibarengi dengan beragam kerentanan seperti banyak pekerja ini menghadapi ketidakpastian pendapatan.

Kemudian, jam kerja panjang, perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang minim, serta ruang partisipasi dalam proses kebijakan yang terbatas.

“Di balik fleksibilitas gig economy, para pekerjanya menghadapi kerentanan yang tidak boleh diabaikan. Negara bertanggung jawab memastikan mereka memperoleh perlindungan yang layak,” kata Kepala Barenbang Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi pada Kamis (20/11/2025).

Dengan begitu penguatan regulasi yang inklusif dan perlindungan sosial adaptif perlu diprioritaskan dan dikolaborasikan antara pemerintah, platform digital, akademisi, dan masyarakat.

Langkah ini guna membangun ekosistem ketenagakerjaan yang lebih adil.

Sejumlah hal yang mesti diutamakan yakni jaminan kecelakaan kerja, perlindungan kesehatan, hingga mitigasi fluktuasi pendapatan.

Kapus Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan Kemnaker RI, Ghazmahadi sepakat kebijakan yang adaptif dan berbasis bukti dapat mendukung pertumbuhan pekerja gig.

Jumlah pekerja gig naik seiring pertumbuhan platform digital sejak 2015, tapi banyak dari mereka masih bekerja dalam kondisi yang belum layak.

Berbagai studi juga menunjukkan pekerja gig menghadapi ketidakpastian pendapatan, jam kerja, hak cuti masih minim, serta ketiadaan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pola kemitraan yang tidak sejalan dengan definisi hubungan kerja dalam Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 juga memperkuat kerentanan mereka.

“Kita tidak bisa hanya melihat pertumbuhan ekonomi gig dari sisi fleksibilitasnya saja. Di balik itu ada jutaan pekerja yang belum mendapatkan kepastian, perlindungan, dan pengakuan yang layak,” ucapnya.

Penyusunan kebijakan harus bertumpu pada data dan temuan empiris.

Dengan begitu, rekomendasi yang dihasilkan dapat benar-benar menjawab persoalan nyata di lapangan.

Pada sisi lain Barenbang Ketenagakerjaan Kemnaker akan meluncurkan Indonesian Forum on Labour and Productivity (IFLP) 2025 di Jakarta.

Forum tahunan ini bertujuan ini merespons dinamika ketenagakerjaan yang semakin kompleks, khususnya sebagai upaya memperkuat ekosistem pekerja gig di Indonesia.

IFLP 2025 juga akan menjadi ajang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan yakni akademisi, pembuat kebijakan, pelaku usaha, profesional, hingga serikat pekerja dari dalam dan luar negeri.

IFLP 2025 hadir untuk memperkaya perspektif sekaligus memperkuat dasar pengambilan kebijakan ketenagakerjaan.

“Tantangan ketenagakerjaan tidak bisa diselesaikan secara sektoral, butuh diskusi lintas disiplin yang menyentuh aspek ekonomi, kultur kerja, regulasi, hingga perlindungan sosial,” ujar Anwar Sanusi.

IFLP 2025 sebagai edisi perdana akan membahas isu pekerja gig yang terus berkembang seiring dengan digitalisasi.

Perubahan pola dan relasi kerja dalam gig economy dinilai memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih adaptif agar selaras dengan dinamika pasar kerja modern. (adm)

Sumber: detik.com

Exit mobile version