World News

Phenomena RED TIDE di Chile Lampu Merah Bagi Pencemaran Laut di Indonesia

Phenomena RED TIDE di Chile Lampu Merah
Bagi Pencemaran Laut di Indonesia

Red Tide Ilustrasi Photo : instagram @isafetynews
Red Tide Ilustrasi Photo : instagram @isafetynews

Isafetynews.comDUNIA kembali dikagetkan dengan kejadian red tide atau pasang merah alias blooming alga di pesisir selatan Chile beberapa saat yang lalu. Tidak tanggung-tanggung red tide kali ini menyebabkan kematian lebih dari dua puluh juta ton ikan salmon, 337 ikan paus, puluhan burung dan biota demersal lainnya yang diduga akibat fenomena red tide tersebut. Red tide sendiri merupakan suatu keadaan dimana air laut mengalami perubahan warna akibat dari ledakan populasi (blooming) fitoplankton atau alga. Perubahan warna yang terjadi tersebut sebenarnya tidak hanya berwarna merah tapi juga dapat berwarna coklat, ungu, kuning, hijau dan lain-lainnya tergantung dari jenis alganya.

Yang perlu diketahui adalah bahwa tidak semua algal bloom dianggap berbahaya bagi makhluk hidup lain, akan tetapi jika algal bloom membahayakan kelangsungan hidup makhluk lain, maka sering diberi istilah harmful algal bloom (HAB), atau biasa orang menyebut dengan Red Tide. Penyebab red tide ini umumnya dari kelompok Dinoflagellata yang ketika meledak populasinya tidak hanya menghabiskan oksigen terlarut dalam air tetapi juga mengeluarkan racun. Racun inilah yang kemudian bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian bagi biota-biota yang hidup di laut.

Red Tide Ilustrasi Photo : wikipedia.org
Red Tide Ilustrasi Photo : wikipedia.org

Peristiwa red tide di Chile ini mau tidak mau menambah deretan panjang terjadinya algal bloom di dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia, fenomena red tide atau algal bloom terjadi hampir rutin tiap dua tahun sekali. Algal bloom pernah terjadi di Teluk Jakarta pada tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006; di Selat Bali dan perairan pesisir Bali bagian timur pada tahun 1994, 1998, 2003, 2007; di Teluk Ambon pada tahun 1994 dan 1997, Nusa Tenggara Timur tahun 1983, 1985, 1989; perairan pesisir Cirebon dan Indramayu pada tahun 2006 dan 2007, Teluk Lampung 2006 dan 2012, serta lokasi-lokasi lainnya.

Lalu apa hubungannya Red tide ini dengan pencemaran laut? Red tide yang biasanya terjadi di perairan pesisir pantai atau muara sungai sangat terkait dengan eutrofikasi atau pengayaan unsur hara di dasar laut. Selain itu, perubahan hidro-meteorologi dalam skala besar, suhu permukaan laut yang hangat, salinitas rendah, terjadinya upwelling atau pengangkatan massa air yang kaya unsur hara ke permukaan laut diiringi dengan terjadinya hujan dan masuknya air tawar ke laut dalam jumlah yang besar juga mempengaruhi kualitas perairan dan memicu terjadinya algal bloom. Kondisi tersebut diperburuk dengan tingginya tingkat pencemaran dari buangan limbah industri, pertanian, dan rumah tangga yang ada disepanjang hulu sampai hilir yang akhirnya juga ikut andil berkontribusi meningkatkan unsur hara dan nutrien di badan perairan. Hal ini secara otomatis juga memberikan peluang yang cukup besar untuk mendukung terjadinya red tide.

Sebagaimana kejadian di Chile, red tide pada awalnya dianggap sebagai fenomena biasa dan tidak menjadi perhatian serius. Pada masa lalu mungkin intensitas dan dampaknya memang tidak massif. Diperkirakan memburuknya kondisi kualitas air di perairan akibat kegiatan-kegiatan yang menghasilkan limbah menjadikan fenomena red tide ini sangat dahsyat dampaknya. Bahkan media setempat menganggap perairan di kawasan tersebut sebagai kuburan masal biota laut.

Alarm untuk semua Negara pesisir sudah menyala. Namun harus diakui, alarm tersebut tidak terlalu mengganggu telinga kita karena saat ini data kerugian sosial ekonomi akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kejadian red tide di Indonesia belum terdokumentasikan dengan baik.

Akan tetapi kita bisa melihat dari kasus red tide di Chile dan negara-negara lain seperti di Jepang, Selandia Baru, Australia, Papua Nugini, Fiji, India, Thailand, dan negara lainnya bahwa dampak yang ditimbulkan dengan munculnya red tide ini sangatlah besar dan signifikan. Sebut saja kematian jutaan ikan dan ratusan paus, menurunnya tangkapan nelayan dan hancurnya pusat budidaya ikan, udang maupun kerang yang berdampak pada gagal panen para petambak budidaya. Selain itu, juga dapat berdampak pada berkurangnya wisatawan karena pantai yang kotor dan bau, perubahan struktur komunitas ekosistem, bahkan sampai pada kasus keracunan dan kematian manusia akibat mengkonsumsi ikan atau kerang yang terkontaminasi.

Melihat dampak yang ditimbulkan dari red tide ini sedemikian besar dan luasnya maka Indonesia perlu mempersiapkan upaya-upaya mitigasi, antisipasi dan penanganannya apabila fenomena red tide terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian di teluk Jakarta semestinya menjadi lampu merah bagi semua pihak bahwa potensi red tide di Indonesia khususnya di Teluk Jakarta adalah nyata. Tentu kita tidak perlu menunggu sampai terjadi red tide dengan dampak semasif kejadian di Chile. Namun demikian, potensi itu sangat mungin terjadi mengingat kondisi Teluk Jakarta yang menjadi muara dari beberapa sungai besar dan menampung limbah baik industri maupun rumah tangga.

Kejadian red tide bukan satu-satunya masalah dalam konteks pencemaran di Indonesia. Catatan kejadian tumpahan minyak sudah banyak dan dalam beberapa kasus juga dapat menyebabkan penurunan produktivitas perikanan dan kerusakan ekosistem. Lapisan minyak akan menutupi permukaan air yang akibatnya mengurangi penetrasi sinar matahari dan kandungan oksigen dalam badan perairan karena berkurangnya proses fotosintesis. Minyak juga dapat menutupi polip terumbu karang dan menyebabkan kematian biota perairan lainnya.

Apabila tumpahan tersebut tidak dapat ditangani secara cepat maka akan mengakibatkan matinya berbagai biota mulai dari fitoplankton dan zooplankton. Produktivitas perairan pada akhirnya akan menurun dan berdampak pada pendapatan nelayan. Bahkan beberapa jenis seperti udang dan kerang sangat sensitif terhadap pencemaran minyak.

Dampak akumulasi dari kejadian red tide dan tumpahan minyak tersebut dapat menjadi bencana bagi ekosistem dan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumberdaya dan jasa lingkungan laut.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam hal ini akan mengambil langkah-langkah aksi nyata. KKP memiliki kepentingan untuk selalu menjaga produktivitas perikanan agar selalu stabil dan aman. Jika red tide dan tumpahan minyak terjadi maka dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan produktivitas perikanan. Kepentingan perikanan dan perlindungan keanekaragaman hayati laut menjadi prioritas utama dalam konteks antisipasi dan penanganan red tide di Indonesia. Tentu saja ini tidak hanya menjadi tugas KKP. Peran kementerian dan instansi terkait lainnya serta Pemda sangatlah penting.

Beberapa upaya untuk mengantisipasi dan menanggulangi terjadinya red tide dan tumpahan minyak ini meliputi upaya fisik dan non fisik pada pra kejadian, saat kejadian maupun pasca kejadian. Untuk upaya pra kejadian akan dilakukan melalui penyusunan pedoman atau SOP (Standard Operational Procedure) yang berisi rencana aksi dan rencana strategis penanggulangan red tide dan tumpahan minyak, penelitian dan pengembangan teknologi untuk memprediksi kejadian red tide, maupun teknologi baru untuk mencegah penyebaran algal bloom ke lokasi lainnya dan remediasi sisa-sisa minyak.

Early warning harus disiapkan untuk memberikan informasi secara lebih cepat dan akurat apabila ditemukan kondisi-kondisi yang dapat memicu red tide maupun terjadinya tumpahan minyak. Sistem ini juga perlu tersambung dengan para pelaku kegiatan perikanan, pemilik resort wisata, dan pengelola kawasan-kawasan publik di pantai seperti pelabuhan. Edukasi dan penyadaran akan bahaya dan pentingnya penanganan red tide dan tumpahan minyak harus dilakukan secara rutin. Partisipasi publik menjadi penting dalam hal ini. Misalnya, para pengelola kegiatan wisata laut dan pembudidaya ikan atau kerang dapat menjadi bagian dari sistim monitoring.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa tingginya tingkat pencemaran yang masuk ke badan air hingga ke perairan laut, maka perlu dilakukan upaya pengurangan masukan bahan-bahan pencemar kedalam badan air. Pencegahan harus dimulai dari sumber bahan pencemar seperti limbah pertanian yang membawa sisa-sisa pupuk dan pestisida, limbah industri, limbah rumah tangga, dan sumber pencemar lainya yang berasal dari daratan.

Kontrol nutrien perlu dilakukan dengan menegakkan peraturan terkait pengelolaan limbah industri, pertanian maupun rumah tangga.

Secara khusus untuk kejadian red tide, beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah penanganan secara mekanik atau teknis seperti penggunaan filter, pompa maupun penghalang (barrier) untuk memindahkan alga dan ikan maupun biota yang mati. Secara kimia atau biologi, dapat dilakukan upaya penggunaan bahan-bahan kimia maupun penggunaan organisme/patogen untuk membunuh sel-sel alga. Akan tetapi cara terakhir ini perlu untuk dipertimbangkan agar jangan sampai penggunaan bahan kimia, organisme dan patogen lainnya dapat lebih mencemari perairan laut sekitarnya.

Pasca kejadian dapat dilakukan upaya monitoring secara berkelanjutan di lokasi tersebut dan lokasi-lokasi lainnya yang diprediksi berpotensi terjadinya red tide. Disamping itu semua, yang paling penting adalah meningkatkan komunikasi, koordinasi lintas sektor dan pendidikan kesadaran bagi masyarakat untuk ikut mengontrol pencemaran yang terjadi di badan sungai sampai ke laut.

Untuk koordinasi pelaksanaan semua kegiatan di atas diperlukan suatu kelembagaan khusus dalam bentuk task force atau pokja. Hal ini dipandang penting untuk menyatukan langkah aksi dan penanganan serta penyampaian informasi kepada masyarakat secara tepat. Kejadian red tide di Teluk Jakarta beberapa waktu yang lalu sering kali menciptakan kebingungan publik karena perbedaan statement dan penjelasan yang diberikan oleh masing-masing instansi.

Dalam jangka panjang juga perlu dilakukan penelitian secara sistimatis untuk mengetahui potensi, ancaman, dan dampak dari kejadian red tide di Indonesia. Penyebab baik alami dan non alami serta keberadaan fasilitas-fasilitas publik dan budidaya perlu dikaji resikonya dan kesiapannya untuk mengantisipasi kejadian red tide.

Dengan demikian, kita berharap kejadian red tide di Chile bukan menjadi penghias media semata namun memberikan pembelajaran dan penyadaran akan bahaya yang sama di perairan Indonesia apabila kita tidak segera mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kualitas perairan kita khususnya dari bahan-bahan pencemar.

Oleh: Elfita Nezon dan Prita Dwi Wahyuni

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button