Sektor Konstruksi Dinilai Berisiko Tinggi Kecelakaan Kerja

Selama periode 2018 hingga 2020 sebanyak 57 kasus kecelakaan kerja di sektor konstruksi yang ditangani BPJS Ketenagakerjaan.

Jakarta, isafetymagazine.com – Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 3,01 juta jiwa. Dari angka ini sebesar 32,76% dari angkatan kerja bekerja di sektor pertanian dan sektor perladangan sebesar 20,55%.

Kemudian, industri pengolahan sebesar 9,21%, akomodasi dan konsumsi sebesar 7,36%, dan konstruksi sebesar 6,83%.

Sektor konstruksi berperan menyerap angkatan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di NTB setiap tahun.

“Proyek-proyek strategis tersebut membawa tantangan dalam mitigasi risiko, karena pengerjaan proyek konstruksi termasuk sektor yang memiliki resiko cukup tinggi. Saya berharap seluruh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) memiliki pengetahuan dan memahami strategi mitigasi resiko,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi.

Salahsatunya adalah penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada semua tahapan mulai perencanaan hingga pemanfaatan. Hal ini termasuk kewajiban memberikan jaminan perlindungan sosial ketenagakerjaan bagi seluruh pekerjanya

“Risiko kecelakaan kerja di sektor konstruksi cukup tinggi, karena itu norma keselamatan dan kesehatan kerja harus dipatuhi dengan ketat oleh semua pihak, pemerintah, penyedia jasa, maupun pekerja,” ucapnya

I Gede Putu Aryadi meneruskan penerapan standar K3 di proyek-proyek konstruksi harus sesuai dengan regulasi yang berlaku, seperti Undang-Undang (UU) nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Selain itu Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 5 Tahun 2018 tentang Sistem Manajemen K3.

“Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) ini harus diperhatikan dalam proses kontraktual pengadaan dan perencanaan pada kegiatan pembangunan,” ujarnya.

I Gede Putu Aryadi mengemukakan norma K3 mencakup berbagai aspek seperti sanitasi, peralatan, sumber daya manusia (SDM), beban kerja, dan proses produksi harus diterapkan secara ketat untuk mencegah penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

Selanjutnya, Permenaker No. Per. 04/Men/1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan Kerja dan Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja menekankan peran Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di setiap proyek.

Langkah ini untuk memastikan kegiatan pelaksanaan kegiatan konstruksi menerapkan norma K3 tersebut. Selain itu menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap saat memasuki atau bekerja di area konstruksi guna menjamin dan mengurangi resiko kecelakaan kerja.

“P2K3 harus berfungsi optimal. Jangan sampai terjadi pelanggaran seperti pekerja bekerja tanpa alat pelindung diri. Ini berbahaya dan berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Semua proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), ucap I Gede Putu Aryadi, wajib memberikan jaminan sosial ketenagakerjaan kepada pekerjanya, termasuk jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM).

“Ini adalah tanggung jawab kita untuk melindungi hak-hak pekerja. Regulasi sudah jelas, termasuk Peraturan Pemerintah nomor 50 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) nomor 20 Tahun 2018,” ujar Aryadi.

Berdasarkan Peraturan Gubernur NTB no 20 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Sektor Jasa Konstruksi.

Langkah ini sejalan dengan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP) Peraturan Lembaga no 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia wajib mendaftarkan jaminan sosial di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mencegah kemiskinan ekstrem.

“Perusahaan konstruksi wajib mendaftarkan proyek dan pekerja pada program JKK dan JKM pada BPJS ketengaakerjaan, sehingga ketika ada kecelakaan kerja, resiko itu bisa kita antisipasi lebih awal. Sehingga ke depan semua Pejabat Pengelola Keuangan masing-masing OPD pemilik proyek untuk lebih memperhatikan tentang kewajiban kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan pada seluruh pelaksanaan proyek yang melibatkan tenaga kerja,” ujarnya.

I Gede Putu Aryadi mengungkapkan pihaknya sudah memiliki layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

“Sistem ini dibangun sejak saya menjabat sebagai Kepala Bagian di tahun 2012. LPSE ini memberikan kemudahan dan transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa, meminimalisir peluang terjadinya kesalahan dan penyimpangan,” ujarnya.

Implementasi LPSE mengalami berbagai tantangan, sehingga masih belum optimal. Jadi, perlu memastikan sistem ini digunakan sebagaimana mestinya agar setiap proses pengadaan tercatat dan terdokumentasi dengan baik sehingga membantu kita untuk terhindar dari potensi masalah hukum

Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kepatuhan terhadap norma-norma keselamatan kerja.

“Mari kita jalankan amanah ini dengan penuh integritas untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, produktif, dan sejahtera,” tuturnya

Kepala BPJS Ketenagakerjaan Provinsi NTB, Bobby Foriawan, mengutarakan jaminan sosial bagi tenaga kerja di sektor konstruksi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan.

“Undang-Undang nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sudah mengatur jelas kewajiban perusahaan untuk mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” katanya

Saat ini terdapat proyek kasa konstruksi yang memberikan perlindungan tenaga kerja di BPJS Ketenagakerjaan.

Berdasarkan Peraturan LKPP no. 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia menyebutkan penyedia wajib menyediakan perlindungan bagi tenaga kerja konstruksinya, minimal berupa BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Ketenagakerjaan selalu berupaya memastikan perusahaan-perusahaan konstruksi di NTB memenuhi kewajiban ini.

Penerimaan iuran jasa konstruksi Januari-Agustus 2024 sebesar 738,4 juta dengan jumlah proyek aktif sebanyak 395 proyek. Klaim segmen jasa konstruksi sampai Agustus 2024 sebagai berikut klaim JKK sebanyak 34 kasus dengan nominal klaim 949,5 juta, klaim JKM sebanyak 1 kasus dengan nominal klaim 42 juta.

Selama periode 2018 hingga 2020 sebanyak 57 kasus kecelakaan kerja di sektor konstruksi yang ditangani BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini menjadi bukti penerapan jaminan sosial di proyek-proyek konstruksi.

Berdasarkan data perencanaan pekerjaan konstruksi pemerintah Provinsi NTB tahun 2024 terdapat proyek aktif sebanyak 3.965 proyek.

Indeks kepatuhan dalam penerapan jaminan sosial di sektor konstruksi mencapai 80%, tapi masih perlu ditingkatkan, terutama dalam penggunaan sistem elektronik untuk pencatatan kontrak dan pengadaan barang dan jasa.

Jadi, perusahaan dan pemerintah dapat terus berkolaborasi untuk memastikan perlindungan sosial yang memadai bagi pekerja konstruksi.

“Dengan jaminan sosial yang kuat, kita bisa menjaga kesejahteraan tenaga kerja di Provinsi NTB,” ucapnya. (adm)

Exit mobile version