Tekanan Keberlanjutan Terus Dilakukan NGO ke Indonesia, Banyak Pertambangan Ilegal di Tanah Air

Meidy Katrin Lengkey menilai penyusunan sertifikasi keberlanjutan di sektor pertambangan tidak susah.

Jakarta, isafetymagazine.com – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai pertambangan ilegal masih terjadi di Indonesia.

Kondisi ini berakibat tekanan keberlanjutan dilakukan non govermental organization/NGO (organisasi non pemerintah).

“Kalau semua produsen diminta mengikuti standar masing-masing pembeli, bisa-bisa yang mati kita,” kata Sekretaris Umum (Sekum) APNI, Meidy Katrin Lengkey.

Pernyataan ini disampaikannya dalam focus group discussion (FGD) bertema ‘Penguatan Praktik ESG melalui Pengembangan Sertifikasi Keberlanjutan pada Sektor Pertambangan dalam Rangka Peningkatan Daya Saing dan Akses Pasar Internasional’ digelar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta pada Kamis (14/8/2025).

“Karena itu, perlu satu kesepakatan dan kerja sama lintas negara untuk menyusun satu sertifikasi yang komprehensif dan aplikatif.”

Dengan begitu APNI mendukung penyusunan sertifikasi keberlanjutan di sektor pertambangan.

Langkah ini sebagai bagian dari upaya memperkuat praktik environmental, social, and governance (ESG) secara baik.

Hal lainnya memperluas akses pasar internasional.

Sebenarnya, Indonesia telah mempunyai 11 standar internasional. Namun, APNI fokus tiga standar utama sesuai dengan pasar global.

APNI sudah berdiskusi dengan beberapa produsen otomotif global secara seperti Tesla, Mercedez-Benz, BMW, dan General Motors.

“Mereka memberikan masukan terkait standar yang harus dipenuhi. Setelah kita bedah, ditemukan bahwa standar GIMP (Global Integrated Mining Protocol) memiliki kecocokan 78 persen dengan standar IRMA dan 90 persen dengan regulasi nasional menurut kajian Nickel Institute,” ucapnya.

Walaupun demikian jika dibandingkan dengan Responsible Mineral Initiative (RMI), kesesuaian GIMP dengan regulasi nasional hanya 64%.

“Artinya, GIMP yang paling mendekati regulasi kita dan tugas kita tinggal mengisi 9 persen kekurangan,” lanjutnya.

Meidy Katrin Lengkey menilai penyusunan sertifikasi keberlanjutan di sektor pertambangan tidak susah.

Namun, tantangan besar dialami pada implementasi dan penerimaan pasar

“Pertanyaannya bagaimana verifikasinya, bagaimana pasar menerima, dan apakah semua sudah sesuai implementasi?” ujarnya.

APNI juga sedang berdiskusi secara intensif dengan beberapa smelter besar seperti Tsingshan-Huayou, CNGR.

Dari diskusi itu diketahui sumber bahan baku yang digunakan telah memenuhi prinsip ESG sejak dari hulu.

“Kalau bahan bakunya saja sudah tidak legal, maka seluruh rantai pasok menjadi tidak sesuai dengan standar ESG. Ini yang menjadi perhatian serius para pembeli internasional,” ucapnya.

Dengan begitu tujuan kerja sama antarnegera produsen mineral membentuk satu standar yang dapat diterima secara global.

Namun, ini tetap realistis untuk diterapkan oleh negara produsen seperti Indonesia.

“Indonesia harus jadi leader. Kita punya momentum, kita produsen terbesar,” tuturnya.

Tapi, kita juga harus bisa menyusun satu sertifikasi yang diterima pasar dan bisa diterapkan dengan baik di lapangan,” ucapnya. (adm)

Sumber: Media Nikel Indonesia

Exit mobile version