Usulan Revisi Denda Pelanggaran K3

Anggota Komite K3 Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rima Melati mengamini sanksi pelanggaran K3 jangan sampai menekan perusahaan.

Jakarta, isafetymagazine.com – Guru Besar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Fatma Lestari sepakat pemberlakuan denda pelanggaran K3 sebesar Rp100.000 dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1970 sudah tidak sesuai dengan banyak kasus tersebut di Indonesia.

Karena, pemberlakuan denda sebesar itu dinilai Fatma tidak memberikan efek jera bagi pelanggarnya, tapi dia tidak menyebutkan berapa besar denda yang pantas dikenakannya.

“Saya setuju sanksi ini harus direvisi atau amandemen,” katanya.

Hal ini disampaikannya dalam ‘Refleksi K3 Nasional 2021:Menakar Efektivitas Implementasi UU Nomor 1 Tahun 1970 di Tempat Kerja’ pada Kamis (23/12/2021).

Hal berbeda dikemukakan Direktur World Safety Organization (WSO) Indonesia, Soehatman Ramli bahwa sanksi sebesar Rp100.000 masih bisa dijatuhkan atas pelanggaran keselamatan dan kesehatan (K3) yang tercantum dalam UU No. 1/1970.

Namun, ini dikenakan bagi setiap pelanggaran K3 yang ditemukan oleh pengawas K3 Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Jadi, apabila pengawas K3 menemukan 50 pelanggaran, maka ini dikalikan Rp100.000 menjadi Rp5 juta.

“Kalau sanksi pelanggaran K3 dikenakan sebesar Rp1 miliar secara langsung, maka ini akan menimbulkan pengangguran akibat perusahaan yang dijatuhi hukuman itu mengalami kebangkrutan lantaran harus membayar denda sebesar jumlah tersebut,” ucapnya.

Pengenaan sanksi per pelanggaran K3 disarankan Soehatman merujuk regulasi K3 yang diterapkan Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Pemerintah Australia.

Bahkan, Pemerintah Inggris meminta penerapan K3 tidak dilakukan secara ketat, karena ini akan membebani dunia usaha.

Pemerintah ini memilih budaya keselamatan tidak diimplementasikannya ketimbang mematikan pertumbuhan ekonomi.

Anggota Komite K3 Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rima Melati mengamini sanksi pelanggaran K3 jangan sampai menekan perusahaan.

Kalau ini membebani perusahaan, maka ini berakibat perusahaan ditutup yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja.

“Pemberian sanksi mesti melihat kondisi perusahaan tersebut,” ujarnya.

Untuk mengawasi pelanggaran K3 di perusahaan perlu ditambah jumlahnya lantaran ini belum seimbang jumlahnya yakni 1.500 pengawas saja. Padahal, Apindo memiliki 9.000 anggota.

Dari jumlah pengawas mesti ditambah Kemnaker dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Bahkan, kriteria dan tanggungjawab ini belum diatur dalam UU No.1/1970.

“Begitupula tingkat pendidikan, kompetensi, persyaratan lain, dan keterlibatan pekerja dalam SMK3 juga belum diatur dalam Undang-Undang No.1/1970,” ucapnya.

Hal lain yang belum diterapkan UU No.1/1970, ucap Rima, adalah tentang kesehatan kerja seperti pemeriksaan kesehatan kerja.

Jadi, hal ini perlu dicantumkan dalam revisi atau revitalisasi UU No.1/1970.

“Hal ini supaya masalah penanggulangan kesehatan bisa lebih jelas,” ucapnya.

Sementara itu Soehatman menyoroti pembinaan norma-norma K3 dalam UU No.1/1970 sudah tidak sesuai perkembangan masyarakat dan industri.

Jadi, UU ini perlu dikembangkan secara sektoral.

“Menaker mesti mengikuti perkembangan masyarakat, kemajuan teknik, teknologi, dan senantiasa akan sesuai dengan perkembangan proses industrilisasi negara kita dalam rangka perkembangan nasional,” ucapnya.

Pemerintah belum menerbitkan peraturan-peraturan organik yang terbagi pembidangan teknis dan pembidangan industri secara sektoral.

Dari hal ini perlu dibuat peraturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah (PP).

“Jadi, Undang-Undang No. 1/1970 tidak perlu dirubah, namun dengan implementasi seperti ini,” ujar Soehatman.

Selain itu peran Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) juga harus ditingkatkan sebagai kementerian yang bisa melakukan desentralisasi dan koordinasi pelaksanaan K3.

Kemnaker dapat melakukannya melalui Sistem Manajemen K3 (SMK3).

“Di Amerika semua mengacu ke sana,” ucapnya.

Dengan demikian, Soehatman menyarankan UU No.1/1970 direvitalisasi dengan penyusunan bekerjasama dengan berbagai pihak.

UU ini belum pernah dilakukan amandemen apapun, padahal di Amerika sudah dilakukan sebanyak 26 kali dan Jepang sebanyak sembilan kali.

Pemerintah dan DPR belum melakukan amandemen UU Keselamatan sama sekali mungkin dianggap tidak penting.

“Padahal, regulasi ini masih banyak menggunakan ejaan bahasa Belanda seperti UU Uap yang dibuat pada 1930,” ujarnya.

Rima mengamini UU No. 1/1970 sudah berusia 51 Tahun, padahal pasal 3 ayat 2 menyebutkan aturan ini dapat dirubah sesuai perkembangan teknis dan teknologi.

“Kalau ada perkembangan-perkembangan dapat dilakukan penyesuaian,” tuturnya.

Namun, dia khawatir revisi atau revitalisasi UU No.1/1970 berakibat uu ini tidak harmonis dengan aturan pelaksana sebelumnya.

Bahkan, ini menjadi tumpang-tindih dengan aturan lain.

“Jadi, waktu pelaksanaan di lapangan seringkali menimbulkan kebingungan,” tuturnya.

Usulan yang ditawarkan Rima adalah mengevaluasi aturan pelaksananya apa masih relevan dengan kondisi sekarang.

Langkah ini mempertimbangkan keselamatan kerja, kesehatan kerja, dan lingkungan kerja.

“Bagaimana kejadian penyakit kerja harus menjadi hal yang utama, mana dilakukan pencegahan dan diagnosis,” ucapnya. (adm)

Exit mobile version