Pekanbaru, isafetymagazine.com – Kasus meninggalnya Timothy Anugerah Saputra seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) yang diduga menjadi korban bullying (perundungan) sebelum mengakhiri hidupnya telah mengguncang dunia pendidikan Indonesia.
Bagi Ir. Ulul Azmi, ST., M.Si., CST., IPM., ASEAN Eng yang merupakan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah Riau sekaligus praktisi nasional di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3), peristiwa ini bukan sekadar tragedi sosial.
Namun, ini juga bentuk kegagalan sistemik dalam menjaga keselamatan jiwa dan etika sosial di lingkungan akademik.
Ulul Azmi menilai bullying merupakan bagian dari psychological hazard (potensi bahaya psikologis).
Kondisi ini berdampak serius sebanding dengan bahaya fisik seperti listrik, mekanik, atau kimia.
Tekanan psikis akibat ejekan, pelecehan sosial, dan penghinaan dapat menimbulkan stres kronis, depresi.
Bahkan, ini bisa mendorong seseorang kehilangan kendali atas hidupnya.
Menurut Ulul Azmi, keselamatan tidak hanya berbicara tentang tubuh yang terlindungi, tetapi juga tentang kesehatan mental yang aman dari tekanan sosial.
Dalam perspektif K3 modern, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 5 Tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja dan standar internasional International Standard Organization (ISO) 45003:2021 bahwa lembaga pendidikan memiliki kewajiban moral dan institusional untuk mengidentifikasi serta mengendalikan risiko non-fisik seperti tekanan mental dan sosial.
ISO 45003 merupakan guidiness (panduan) global dalam sistem manajemen K3 (SMK3) yang fokus pada K3 psikologis di tempat kerja.
Hal ini bertujuan membantu organisasi dalam mengenali, mencegah, dan mengendalikan risiko-risiko psikososial yang dapat berdampak terhadap kesejahteraan mental tenaga kerja atau peserta didik.
“Kampus harus menjadi ruang aman bagi mahasiswa, bukan lingkungan yang membiarkan kekerasan verbal dan sosial tumbuh tanpa kendali,” ucapnya.
“Ketika sistem pengawasan kampus gagal mendeteksi potensi tekanan psikis mahasiswa, maka institusi tersebut telah lalai terhadap tanggung jawab keselamatan publik.”
Menanggapi viralnya percakapan di media sosial yang menampilkan ejekan terhadap mendiang Timothy Anugerah Saputra, ucap Ulul Azmi, menyebut para pelaku bukan hanya melakukan pelanggaran moral.
Namun, ini juga mencerminkan kegagalan sistem pendidikan dalam menanamkan nilai empati.
“Bullying adalah kecelakaan sosial yang bisa dicegah apabila sistem manajemen risiko sosial berjalan baik,” ucapnya.
“Saya mengingatkan agar masyarakat tidak hanya fokus pada kesalahan individu, tetapi juga mengevaluasi peran institusi di mana pengawasan kampus, dosen pembimbing, dan kode etik organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi benteng bagi keselamatan jiwa mahasiswa.”
Ulul Azmi mendesak para pelaku bullying harus diberikan hukuman tegas secara hukum maupun sosial.
Hukuman tersebut bukan hanya bentuk pembalasan, tetapi juga sarana pembelajaran dan pemulihan moral.
Kejahatan sosial seperti bullying tidak boleh dianggap sebagai kenakalan biasa.
“Hukum harus hadir untuk memberikan keadilan, dan moral harus ditegakkan agar menjadi pelajaran bagi semua pihak. Setiap tawa di atas penderitaan orang lain adalah bentuk kekerasan sosial,” ujarnya.
Ulul Azmi menilai setelah sanksi dijatuhkan, rehabilitasi empati dan etika perlu dilakukan agar pelaku dapat disadarkan bahwa rasa kemanusiaan adalah pondasi dari kehidupan sosial yang sehat.
Sebagai praktisi keselamatan publik, dia menyebut tragedi ini juga menunjukkan gejala krisis empati di kalangan generasi muda, terutama dalam ruang digital.
Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi kini sering berubah menjadi arena penghinaan.
“Kita sedang menghadapi penyakit sosial baru matinya rasa. Ketika kematian seseorang dijadikan bahan candaan, itu bukan sekadar kebodohan, melainkan tanda hancurnya nurani sosial bangsa,” tuturnya.
Sebagai solusi, Ulul Azmi mendorong pemerintah dan lembaga pendidikan untuk menerapkan audit K3 psikososial secara periodik.
Audit ini mencakup empat aspek penting yakni pertama, sistem pelaporan rahasia bagi korban dan saksi bullying.
Kedua, pelatihan bagi dosen serta organisasi mahasiswa tentang tanda-tanda stres dan tekanan mental.
Ketiga, integrasi kurikulum K3 psikologis ke dalam program pengembangan karakter.
Keempat, evaluasi rutin terhadap faktor risiko psikologis di lingkungan kampus sesuai panduan ISO 45003.
Dia juga mengusulkan pembentukan Psychological Safety Policy di setiap universitas sebagai kebijakan resmi yang melarang segala bentuk pelecehan dan memastikan perlindungan bagi korban.
“Saya menekankan pentingnya membangun budaya keselamatan berbasis empati atau empathetic safety culture. Budaya ini menempatkan nilai kemanusiaan sebagai inti dari keselamatan,” ujarnya.
“Jika mahasiswa bisa belajar K3 untuk mesin dan listrik, maka mereka juga harus belajar K3 untuk jiwa. Luka batin jauh lebih sulit disembuhkan daripada luka kerja. Budaya aman harus dimulai dari ruang kelas, organisasi, hingga grup komunikasi daring.”
Dengan begitu Ulul Azmi mengajak seluruh pihak mulai dari mahasiswa, dosen, hingga masyarakat luas, untuk menjadikan duka Timothy Anugerah Saputra sebagai momentum kebangkitan nilai kemanusiaan.
Dia menutup dengan pesan moral, bahwa bangsa ini membutuhkan generasi yang menyembuhkan, bukan melukai.
“Jadilah insinyur kehidupan, yang membangun manusia dan menjaga jiwa sesama. Jangan biarkan satu nyawa lagi hilang karena kita abai terhadap hazard psikologis,” ujarnya. (adm)