Jakarta, isafetymagazine.com – Praktisi Health, Safety, Security, and Environment (HSSE), Syamsul Arifin menilai kecelakan kerja bukan hanya terjadi akibat faktor pekerjanya saja, tetapi ini dapat berlangsung karena pengaruh lingkungan kerjanya.
Dari hal ini pekerja membutuhkan panduan agar bisa bekerja secara efisien.
“Kalau kondisi kecelakaan kerja jelas, maka kita bisa tahu melakukan prosedur bagaimana seharusnya,” katanya.
Pernyataan ini disampaikannya dalam Webinar Series Bulan K3 PAKKEM 2024 bertajuk Psychological Safety’ yang digelar Perkumpulan Ahli Keteknikan dan Keselamatan Minyak dan Gas (PAKKEM) pada Jumat (23/2/2024).
Namun, ketika kondisi kecelakaan kerja rumit, maka ini perlu dilakukan good practice yang semula cuma best practice saja. Jadi, kondisinya membutuhkan masukan para ahli.
“Karena kondisi kerja yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda,” ujarnya.
Saat semua orang berinteraksi dalam suatu lingkungan kerja, ujar Syamsul Arifin, terdapat risiko seperti kepercayaan individu dalam suatu tim.
Contohnya, apakah seseorang aman dan nyaman ketika dia berinteraksi dengan atasannya seperti dalam pelaporan tentang perilaku tidak aman dalam bekerja oleh pekerja lain yang semestinya sebagai kesukarelaan.
“Seorang pekerja akan berhitung apa resiko untung dan ruginya ketika dia berbicara, lalu dia akan mengambil keputusan itu,” ucapnya.
Berdasarkan suatu riset menyebutkan tim berkinerja tinggi melaporkan kesalahan paling sedikit, sebaliknya tim yang berkinerja rendah bisa melaporkan kesalahan paling banyak.
“Padahal dari suatu hipotesa, awalnya mengatakan tim berkinerja tinggi melaporkan error paling banyak,” ucapnya.
Syamsul Arifin mengemukakan mereka yang melaporkan error sedikit, bukan berarti paling sedikit kesalahannya, tapi karena dia tidak harus melaporkan.
Mengapa ini terjadi, karena mayoritas manajemen tingkat atas menganggap actual error berbeda dengan seluruh error.
“Padahal, semakin besar atau kecil sangat tergantung kepada psychologic safety berkata apa orang-orang nyaman untuk melaporkan kesalahan atau kegagalan yang dilakukannya,” tuturnya.
Dengan begitu reporting error tergantung dari ability to detect error dulu, tapi tergantung kemauan dan kemampuan yang merupakan dua hal yang berbeda.
“Dia mampu identifikasi bahaya, identifikasi insiden, dan identifikasi near miss, namun apakah dia mau dan mampu melaporkan adalah dua hal yang berbeda,” ujarnya.
Kemauan ini diharapkan bisa ditingkatkan karena niat seseorang yang paling tinggi adalah memiliki iklim keterbukaan yang paling besar bahwa apakah ini akan dilaporkan atau didiskusikan.
Jadi, tingkat error akan menjadi pelajaran yang bisa dicegah pada masa depan.
“Ada pimpinan tim kerja tersebut sangat menolong terlepas dari saling menyalahkan atau tidak, time is uncertainty sangat tinggi,” tuturnya.
Seorang pimpinan, ucap Syamsul Arifin, harus tahu kapan mesti marah lantaran tidak semua kesalahan patut dimarahi. Kesalahan yang patut dimarahi adalah noncompliance (pelanggaran).
Pasalnya, ada pelanggaran rutin yang setiap orang melakukan itu, situasional, dan pengecualian. Selain itu apakah kesalahannya timbul, karena sistem.
“Apakah kita akan mendapatkan manfaat besar ketika menyalahkan orang,” tuturnya.
Di tempat kerja tidak hanya orang yang bekerja di lapangan, tapi orang-orang yang mendukung sumber daya di sana.
Apakah ada yang tahu orang membuat jadwal kerja, gangguan cuaca, dan membuat kebijakan.
“Kalau terjadi kecelakaan kerja disalahkan orang-orang yang dekat dengan sisi ruang dan waktu yang dekat dengan kejadian,” ujarnya.
Syamsul Arifin mengutarakan padahal, terdapat orang-orang yang berada di bagian lain yang berperan dalam kecelakaan kerja.
Efek orang yang selalu menyalahkan orang lain, maka dia akan menipu diri sendiri.
“Kalau kita meng-overestimate diri kita, maka kita akan meng-underestimate orang lain,” ujarnya.
Ketika seseorang mengalami kecelakaan kerja, ujar Syamsul Arifin, jangan pihak lain menyalahkannya.
Namun, pihak lain bisa menanyakan apa yang bisa dibantu sesuatu baginya.
“Ketika kita tidak menggunakan hati nurani, maka otak kita membutuhkan justifikasi yang dibangun otak kita, sehingga kita akan tertipu oleh diri sendiri,” ujarnya.
Untuk membicarakan persoalan manajemen perusahaan, ujar Syamsul Arifin, bisa menggunakan pendekatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Dia dapat mengatakan banyak pekerja mengalami kecelakaan kerja setiap tahun.
“Kata-kata ini membuat panik banyak pekerja, bahkan satu orang mengatakan satu orang ditaruh pemegang saham sebagai orang gila yang mempunyai banyak kekuasaan,” ucapnya.
Orang yang melaporkan banyak kecelakaan kerja diyakini dia akan mengikuti K3.
Tiga pertanyaan yang dapat ditanamkan dalam K3 yakni apakah saya diberlakukan dengan rasa hormat.
Kemudian, saya diberlakukan tidak berbeda dengan orang lain dari sisi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Selanjutnya, apakah saya mempunyai sumber daya yang dibutuhkan seperti pangan, keuangan, dan motivasi.
Berikutnya, apa yang dilakukan pekerja akan dihargai perusahaan seperti ucapan terima kasih.
“Apakah saya sudah melakukan pekerja dengan dihargai dan adil,” ucapnya.
Syamsul Arifin mengungkapkan pekerja berharap apa yang sudah dilakukan menjadi sesuatu yang rasional.
Jika suatu waktu terjadi kecelakaan kerja, maka dia tidak menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya.
“Dari hal kinerja perusahaan bisa meningkat empat kali lipat,” ucapnya.
Tiga faktor yang menunjang kepercayaan kepada seseorang yakni risiko apakah dia akan dinilai bodoh.
Kemudian, apakah dia kompeten dalam pekerjaan tersebut.
“Jangan menembak orang yang membawa berita buruk,” ucapnya.
Pemimpin, ujar Syamsul Arifin, tidak selamanya tahu segalanya, sehingga dia mesti berani mengutarakan kelemahannya.
Contohnya, dia bisa berkata tidak tahu jawaban atas pertanyaan bawahannya dan akan menjawab pertanyaannya nanti.
“Bisa juga dia menjawab saya tidak tahu hal ini, bagaimana menurutmu jawaban ini,” ucapnya.
Dengan begitu bawahan akan berani berbicara kepada atasan, sebab kalau bos sudah merasa tahu segalanya, bawahan merasa tidak perlu berbicara.
Bahkan, bawahan berani memberikan solusi.
Bawahan dapat melihat integritas atasan dari sejumlah kriteria yang dipunyainya, apakah itu bisa diterima, jujur, menjaga kerahasian, dan etik.
Menyoal pekerja yang mesti dikontrol atasan, kalau salah diberikan hukuman ditanggapi Syamsul Arifin bahwa ini berarti atasan hanya fokus kepada perilaku pekerja.
Atasan hanya menjalankan ‘carrot and stick’.
“Dari hal ini yang ditanamkan hanya rasa takut, yang diancam, kalo dia tidak melaporkan, maka dia akan dipecat. Padahal, ini akan menghambat orang untuk speak up dan pembelajaran,” ucapnya. (adm)