Jakarta – Indeks Sustainable Development Goals (SDGs) menyebutkan peringkat environmental, social, and governance (ESG) Indonesia turun menjadi 78 pada 2024 dari 75 pada 2023. Kondisi ini dinilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terjadi akibat sejumlah penyebab.
“Kesenjangan sosial, tidak meratanya perekonomian, ketidaksetaraan pendidikan, gap antara profesional pria dan wanita, tingkat kemiskinan yang besar, serta lingkungan hidup yang perlu diperbaiki di berbagai sisi,” kata Pengawas Dana Pensiun Direktorat Pengawasan Dana Pensiun OJK, Sabrina Septiani.
Pernyataan ini disampaikannya dalam kegiatan bedah buku berjudul ‘Diorama Keuangan Berkelanjutan Indonesia’ secara virtual pada Selasa (3/5/2025).
Persoalan-persoalan lainnya yang dihadapi seperti polusi udara dan sampah, tingkat pengetahuan terkait ESG masih rendah, pemanfaatan energi terbarukan masih kecil, dan gelombang perubahan iklim.
Salahsatu langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menghadapi masalah ESG dengan mengimplementasikan prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sejak 2014.
BPJS Ketenagakerjaan melakukannya berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi lembaga jasa Keuangan, emiten, dan perusahaan publik.
BPJS Ketenagakerjaan menerapkan praktik ESG berupa penerapan tata kelola, peningkatan sumber daya manusia (SDM), efisiensi konsumsi energi, pengurangan limbah, sertifikasi green building, dan inovasi teknologi atau digitalisasi.
Selain itu penyajian laporan keuangan merujuk Global Reporting Index (GRI) yang mengutamakan kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial, serta aspek tata kelola perusahaan.
“Kemudian, untuk dana pensiun lainnya baru diterapkan di 2025. Sehingga, di November 2024, lembaga dana pensiun lainnya telah menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB),” ucap Sabrina Septiani.
Pada sisi lain Indonesia menerbitkan sejumlah instrumen investasi berkonsep ESG, yaitu Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan (Green Bond) Bank Mandiri.
Selanjutnya, green sukuk ritel seri ST006 (e-SBN), green loan PLN untuk membiayai dua proyek PLTA dan lima proyek PLTP, serta IDX ESG Leaders dan Indeks SRI-KEHATI.
“Dampak dari keuangan berkelanjutan tentunya tak bisa dilihat dalam waktu instan. Membutuhkan proses, namun saya yakin hal kecil yang dilakukan secara konsisten akan berdampak pada masa kini dan mendatang,” tuturnya.
Sementara itu Singapura menghadapi berbagai persoalan ESG seperti penyediaan air bersih kepada warganya.
“Dulu Singapura hanya bisa memenuhi kebutuhan air dari dalam negeri sebesar 5 persen. Yang mana sisanya adalah impor,” ujarnya.
Dengan begitu Singapura memenuhi sebanyak 60% kebutuhan airnya dari dalam negeri dan 40% dari Malaysia. Langkah ini bisa dicapai dengan menyaring air laut untuk dijadikan air bersih dan membuat danau buatan.
Masalah-masalah lain yang dihadapi Singapura seperti tingkat fertilitas rendah, keterbatasan lahan, ketergantungan impor, sampah yang besar, dan bahaya karbon.
Sementara itu Jepang mengalami berbagai persoalan antara lain emisi karbon masih tinggi, aging population, pengetahuan ESG masih kurang bagi sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dan polusi udara.
Pada sisi lain Inggris menghadapi sejumlah tantangan antara lain krisis energi, kesenjangan sosial, dan kemiskinan. Sementara itu Jerman mengalami masalah populasi pekerja akibat penduduk sedikit, peningkatan mortalitas akibat penyakit kronis seperti jantung, diabetes, dan kanker. (adm)
Sumber: Majalah Infobank