Surabaya, isafetymagazine.com – Pakar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari Universitas Airlangga (Unair), Neffrety Nilamsari SKM MKes berpendapat kapal feri yang tenggelam di Selat Bali tidak hanya akibat kecelakaan laut lantaran dampak cuaca buruk.
Namun, ini akibat kegagalan sistemik dalam keselamatan transportasi laut di Indonesia.
“Aspek cuaca memang tidak bisa dikendalikan oleh manusia meskipun memiliki alat secanggih apapun, tapi sistem keselamatan dan teknologi prediksi seharusnya mampu memberi peringatan dini. Kecelakaan ini terjadi karena sistem itu tidak berfungsi atau diabaikan,” katanya.
Padahal, standar keselamatan kapal penumpang meliputi radar cuaca, sistem komunikasi, dan early detection. Namun, sistem ini tidak dilakjukan pengujian secara fungsi sebelum kapal berangkat.
“Ada kemungkinan kegagalan sistem, sehingga tidak bisa memperlihatkan prediksi cuaca sebelum berangkat. sehingga penerapan keselamatan untuk penumpang dan awak kapal itu menjadi minimal,” ucapnya.
Dengan begitu Neffrety Nilamsari mengemukakan keselamatan penumpang dan awak kapal dianggap masih minim di Indonesia. Jadi, penanganan darurat terkendala akibat semua kru tidak memahami prosedur evakuasi secara baik akibat pelatihan dan kedisiplinan operasional kurang dilakukan pengelola kapal.
Kesimpulannya, kondisi fisik kapal yang disinyalir tidak layak berlayar akibat korosi pada dinding atau dek kapal bisa membuat kapal mudah robek jika terseret jangkar.
“Pemeriksaan menyeluruh harus dilakukan, bukan hanya formalitas,” ujarnya.
Bahkan, banyak kapal tidak diperiksa oleh tenaga ahli bersertifikasi yang diserahkan kepada awak kapal bertugas menguji mesin, radar, dan indikator angin.
“Kesalahan teknis kecil bisa berujung bencana jika ditangani orang yang tidak kompeten,” ucapnya.
Jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, ucap Neffrety Nilamsari, turut memperbesar risiko. Kapal kekurangan pelampung dan sekoci. Penumpang non-manifest sangat berbahaya dalam kondisi darurat.
“Evakuasi jadi kacau, dan identifikasi korban sulit dilakukan,” tuturnya.
Dengan demikian, kesadaran publik juga perlu dibangun bahwa jika kapal penuh, jangan nekat. Keselamatan harus jadi prioritas, bukan sekadar tiba lebih cepat.
“Saya menyarankan audit menyeluruh dan penerapan SOP (standard operating procedure) ketat oleh perusahaan pelayaran. Jangan tunggu tragedi berikutnya. Disiplin keselamatan tidak boleh lagi dinegosiasikan,” ucapnya. (adm)
Sumber: Universitas Airlangga (Unair)