Balikpapan, isafetymagazine.com – Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (Polda Kaltim) menyatakan tidak semua sopir truk tronton bisa berpikir cerdas saat terdesak untuk menghindari kecelakaan.
Karena, waktu untuk melakukan ini dipunyainya hanya beberapa detik saja
“Ada kondisi yang membuat sopir (M Ali) tak bisa banting setir ke kiri dan malah ke kanan,” kata Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Yusuf Sutejo di Balikpapan, Kalimantan Timur pada Jumat (21/1/2022).
Apalagi, M. Ali sebagai seorang sopir hanya seorang diri di dalam truk dengan kendaraan yang terus melaju akibat remnya blong. Kejadian ini ditunjang dengan faktor geografis ruas jalannya menurun dan beban muatan sekitar 20 ton.
“Jadi sopir sudah berusaha untuk mengurangi kecepatan dengan cara dia menggunakan engine brake dan menurunkan persneling dari gigi tinggi (ke) gigi rendah,” ujarnya.
Truk bisa berhenti setelah menabrak bundaran yang berada di dekat lokasi kejadian.
Pendiri sekaligus pengajar senior Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI) Sony Sumana mengamini saat sopir truk tronton dihadapkan dalam kondisi darurat, seharusnya dia memilih opsi yang bisa meminimalkan risiko.
Walaupun keputusan itu diburu dengan waktu dalam hitungan detik saja.
Langkah yang diambil sopir tronton dengan mengendarai lurus ke depan ketemu kendaraan kecil memang tidak fatal baginya, tetapi fatal untuk orang lain.
“Banting setir ke kiri, ketemu pohon, fatal buat dia tapi kecil risiko buat orang lain. Banting setir kanan ketemu kendaraan lain yang berlawanan arah, fatal buat dia,” ucapnya.
Hal yang sama diucapkan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman mengemukakan sopir truk tronton seharusnya membanting stir ke kiri.
Tindakan ini dilakukan sebelumnya dia menurunkan gigi persneling dari empat ke tiga, tapi upaya itu tidak cukup, karena rem truk blong.
“Si sopir lalai sekali dan seperti tidak punya keahlian mengemudi. Kenapa orang seperti itu kok bisa jadi pengemudi truk tronton. Bagaimana dahulu proses dia direkrut, ada tes khusus atau tidak,” uturnya.
Pada sisi lain Sony Susmana mengungkapkan sopir kendaraan diminta memberi jarak saat berhenti di lampu merah. Untuk jarak itu tergantung sejauh mana mobil yang dikendarai bisa melakukan manuver escaping ketika ada kejadian yang tidak diinginkan.
Saat lampu merah juga disarankan tidak berfokus pada bagian depan saja melainkan sisi kanan kiri dan belakang.
“Hal itu untuk meningkatkan kewaspadaan pengendara untuk bisa bermanuver dari kecelakaan,” tuturnya.
Sopir diminta mengangkat pelatuk handbreak pada saat lampu merah supaya bisa lebih leluasa untuk menghindar ketika terjadi sebuah kecelakaan. Karena, kecelakaan di lampu merah terjadi hanya dalam hitungan detik.
“Pastikan parking brake dari awal tidak berfungsi, jadi selama lampu merah yang diinjak adalah service brake. Kemudian segera cari langkah untuk menghindar, baik itu ke kiri atau ke kanan atau memberi sinyal kendaraan depan untuk memberi ruang,” tuturnya.
Kebiasaan merapatkan barisan kendaraan pada saat lampu merah masih menjadi pekerjaan rumah di lalu lintas negara kita. Hal itu akibat jalan raya padat dan akses yang terbatas.
“Seringkali mindset kita ketika lampu merah itu harus merapatkan kendaraan satu dengan kendaraan lainnya di lampu merah,” ucapnnya,
Dengan demikian ketika terjadi kecelakaan dari belakang, para pengendara tidak ada ruang untuk bermanuver atau menghindar. (dtc/ant/adm)