Jakarta, isafetymagazine.com – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengatakan penyusunan metodologi Environmental (lingkungan), Social (Sosial), and Governance (tata kelola) atau ESG dinilai perlu dilakukan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga internasional.
βKami akan mengadakan forum metodologi, menghadirkan pelaku dunia seperti Tesla, Mercedes, Hyundai, BYD, hingga lembaga internasional seperti LME, SMM, dan Fastmarket. Semua pihak ini akan hadir di Indonesia pada bulan Juni untuk membahas hal ini,β kata Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin.
Pernyatan ini disampaikannya dalam diskusi dengan tema βKenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel: Dampak dan Strategi Kolaborasiβ pada Senin (17/3/2025).
Pada sisi lain APNI telah mengirimkan sebuah kuesioner kepada seluruh pelaku industri pertambangan nikel, termasuk smelter, untuk mengumpulkan masukan terkait wacana kenaikan tarif royalti ini.
βKami telah membagikan kuesioner kepada semua pelaku usaha, baik yang terintegrasi maupun yang non-integrasi, untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang dampak kebijakan ini terhadap biaya produksi dan keberlanjutan perusahaan,β ucapnya.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan APNI bahwa jika tarif royalti dinaikkan hingga 14%, maka beberapa perusahaan nikel diprediksi akan menghadapi kerugian yang cukup signifikan.
βJika tarif royalti dinaikkan 14 persen, ada perusahaan yang diprediksi akan rugi. Bahkan, beberapa perusahaan mempertimbangkan untuk beralih ke sektor lain yang lebih menguntungkan, seperti pertanian,β ujarnya.
Dengan begitu para pelaku usaha nikel menghadapi tantangan kenaikan tarif royalti terutama mereka yang beroperasi di wilayah dengan cadangan nikel yang tidak terlalu besar atau kadar yang rendah.
Pembahasan kenaikan tarif royalti, ujar Meidy Katrin tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, saja. Namun ini juga berhubungan erat dengan regulasi dan kebijakan pemerintah yang berpotensi mempengaruhi daya saing sektor pertambangan.
βKenaikan tarif royalti ini tentu akan memberikan dampak besar, terutama terhadap biaya produksi. Kita perlu melihat apakah kebijakan ini dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi sektor ini, atau justru memberikan beban yang lebih besar,β ucapnya.
Hal lainnya adalah transparansi dalam pengelolaan iuran dan kewajiban lainnya, seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
βDulu, pemerintah hanya meminta kontribusi sekitar Rp20 juta hingga Rp25 juta, namun sekarang, masyarakat sudah semakin pintar dalam menuntut hak mereka. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban ini harus dipertimbangkan dengan matang,β tuturnya. (mdi/adm)