Health

Kesepian Dorong Risiko Kematian Seseorang Sebesar 26 Persen

Hasil SUSENAS pada Statistik Indonesia pada 2020 menyebutkan secara proporsi jumlah usia penduduk 60 tahun ke atas semakin lama semakin meningkat.

Jakarta, isafetymagazine.com – Pakar Keperawatan Jiwa dari Universitas Respati Indonesia (URINDO), Thika Marliana mengemukakan kesehatan jiwa terutama lansia tidak dilihat pada saat sekarang saja, tetapi harus sudah diperhatikan pada tahap awal perkembangan yang terjadi dari kehidupan sebelumnya.

“Indikator sehat tidak hanya badan bebas penyakit tapi juga mentalnya siap, spiritualnya matang, dan secara sosial bisa terlibat jadi individu,” katanya.

Pernyataan ini disampaikannya dalam Family Talks Session yang digelar oleh usat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diprakarsai oleh Kelompok Riset Dinamika Keluarga dengan tema ‘Lansia ku di Era Ageing Population: Loneliness, Ageism, and Mental Health’ pada Rabu (19/6/2024).

Kesehatan jiwa berdasar Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Fase-fase kehidupan terdiri dari rasa percaya terbentuk secara mental pada individu usia nol sampai satu tahun.

Kemudian, usia 1-3 tahun masuk pada tugas tumbuh kembang untuk membentuk kemandirian. Pada fase prasekolah yaitu usia 4-6 tahun adalah saat membentuk inisiatif.

Pada fase anak usia 6-12 tahun secara mental harus distimulasi bahwa dia puas dan bisa menyelesaikan tugas yang diberikannya. Sedang fase remaja, masa membentuk identitas diri
Selanjutnya, pada fase dewasa harus bisa membina hubungan dengan lawan jenis dalam kelompok.

Thika Marliana mengungkapkan inner child adalah kepribadian seseorang yang terbentuk dari pengalaman masa kecil. Kadang, orang sering mempersepsikan ini sebagai luka masa kecil. Kita nggak sadar secara psikologis, semua kejadian itu sifatnya netral dan positif.

“Agama apapun, menyebutkan, semua kejadian sebagai pemberian Tuhan yang terbaik buat kita. Pemaknaan itulah, akhirnya membedakan satu orang dengan orang lainnya,” ujarnya.

Akademisi dan Pengembang Sekolah Lansia CeFas URINDO, Tri Suratmi mengutarakan ageisme atau diskriminasi terdapat pada lansia di masyarakat Indonesia.

Namun, masyarakat belum paham bahwa itu berbahaya, sehingga rekonstruksi perilaku masyarakat untuk lebih adab terhadap lansia dan perlu diedukasikan pada semua tingkatan usia.

“Penelitian tentang ageisme di Indonesia masih minim lantaran perlu kajian dari berbagai pemangku kepentingan, sehingga hasilnya dapat dijadikan dasar untuk mengusulkan kebijakan,” tuturnya.

Ageisme pertama kali diistilahkan oleh ahli Gerontologi, Robert N. Butler, sebagai cara untuk mengekspresikan diskriminasi yang ia saksikan terhadap individu yang lebih tua. Tiga jenis ageisme, yaitu kognitif, emosional, dan perilaku.

Ageisme kognitif terjadi ketika stereotip digunakan untuk memikirkan individu sehubungan dengan usia mereka. Misalnya, orang yang lebih tua akan menyebrang jalan lebih lambat dibandingkan orang yang lebih muda.

“Ageisme emosional merupakan prasangka yang dimiliki seseorang terhadap orang lain sehubungan dengan usianya,” ujarnya.

Prasangka seringkali dikaitkan dengan emosi, sedangkan ageisme perilaku terdapat ketika seorang secara fisik atau verbal bertindak untuk menunjukkan diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan usianya.

Tri Suratmi menilai ageisme berdampak negatif terhadap kesehatan individu lansia. Penelitian ini menunjukkan sikap negatif terhadap penuaan dapat hidup 7,5 tahun lebih pendek dibandingkan yang memiliki pandangan positif terhadap penuaan.

“Korban ageisme terbukti memiliki tingkat stres kardiovaskular yang lebih tinggi dan penurunan tingkat efikasi diri dan produktivitas,” ucapnya,

Dengan begitu mempercayai stereotip yang menyertai ageisme dapat memperpendek umur seseorang. Masyarakat yang menganut paham ageisme cenderung mempromosikan stereotip ageisme, yang dapat menyebabkan lansia merasa terisolasi seolah menjadi beban masyarakat . Efek negatif ageisme mengakibatkan lansia mengalami peningkatan kejadian depresi dan gangguan suasana hati lainnya.

Peneliti PRK BRIN, Resti Pujihasvuty memaparkan kesepian atau loneliness pasti dialami semua orang terutama memungkinkan orang-orang yang jauh dari akses informasi dan lain sebagainya. Hal itu lantaran gangguan mental yang tinggi.

Hasil SUSENAS pada Statistik Indonesia pada 2020 menyebutkan ecara proporsi jumlah usia penduduk 60 tahun ke atas semakin lama semakin meningkat. Bahkan pada 2035-2040 Indonesia diprediksikan akan mengalami banjir lansia sebesar 17%-20%.

Kedua, jumlah lansia dari 26 juta pada 2020 menjadi 48 juta pada 2035. Proporsi lansia yang semakin produktif dan dapat berkontribusi pada perekonomian negara.

“Lansia harus memiliki kondisi kesehatan fisik dan mental yang baik dan produktif agar menjadi kekuatan untuk bangsa indonesia,” ujarnya.

Kesepian digambarkan sebagai perasaan yang tidak diinginkan, menyakitkan, dan tidak menyenangkan. Hal ini juga didefinisikan sebagai perasaan subjektif seseorang akibat hubungan sosial yang kurang memuaskan atau tidak sesuai keinginan

“Kesepian dan isolasi sosial sebagai dua hal yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan, tapi beberapa penelitian hanya menemukan korelasi yang lemah antara isolasi sosial dan kesepian,” ujarnya.

Dengan begitu orang yang terisolasi secara sosial belum tentu mengalami kesepian, demikian sebaliknya. Faktor ini akibat individu yang menyebabkan yakni kondisi kesehatan, kehilangan sensorik atau indra, mobilitas, pensiun, duka cita, pindah rumah , berhenti berkarir, dan sebagainya.

Faktor sosial oleh karena transportasi, lingkungan fisik, komunitas, perumahan, teknologi, kejahatan, perubahan demografi, dan yang lainnya.

Untuk faktor psikologis yang menyebabkan yaitu memandang rendah menilai negatif diri sendiri merasa tidak berguna, tidak berharga, merasa tersisihkan dari lingkungan sosial.

Faktor situasional yakni perubahan hidup post power syndrome, budaya sibuk, dan putusnya hubungan dengan orang terdekat. Kemudian faktor spiritualitas akibat kehilangan makna dan tujuan hidup serta religiusitas.

Sebuah meta analisis menemukan dampak kesepian yang mengandung risiko kematian dini yang meningkat sebesar 26% dan 29% karena isolasi sosial. Selain itu kekurangan koneksi sosial dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, stroke, penyakit jantung dan demensia. (adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button