Jakarta, isafetymagazine.com – Sejumlah perusahaan kelas dunia masih mengalami kecelakaan kerja seperti Freeport. Atap fasilitas pelatihan tambang bawah tanah di area Big Gossan Timika Papua runtuh menimpa 38 pekerja pada 14 Mei 2013.
Kemudian, Pertamina mengalami kebakaran kilang minyak di Cilacap pada 5 Oktober 2016. Padahal, perusahaan-perusahaan itu diketahui telah menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3).
“Penerapan SMK3 diduga belum komprehensif dan holistik,” kata WSO Indonesia Representative, Soehatman Ramli dalam ‘Webinar Optimalisasi Sistem Manajemen K3 Menuju Revolusi Industri 5.0’ yang diselenggarakan Universitas Binawan pada Sabtu (28/11/2020).
Mereka disinyalir hanya menerapkan salahsatu dari tipe jenis penerapan SMK3 yakni virtual, misguide, atau random. Implementasi tipe virtual tidak mempunyai sistem, walaupun memiliki program pelatihan dan analisa resiko.
Untuk adopsi misguide belum menyambungkan antarelemen dan resiko, sehingga analisa tidak tepat dan salah sasaran. “Ini banyak terjadi di perusahaan-perusahaan,” ujarnya.
Penerapan tipe random memiliki semua sistem, ujar Soehatman, tetapi elemen-elemennya tidak jelas hanya ‘copy paste’ saja, padahal ini harus mempertumbangkan resiko perusahaan.
Apa yang dimaksud implementasi SMK3 tipe komprehensif dan holistik adalah mengadopsi semua elemen dalam suatu sistem.
Walaupun demikian, ada perusahaan yang sudah menerapkan K3 secara maksimal, tapi perusahaan ini masih mengalami angka kecelakaan tinggi berarti dia bernasib buruk. Jika, dia memperoleh angka kecelakaan rendah, maka perusahaan ini sudah masuk kelas dunia.
Soehatman mengungkapkan kerangka kerja manajemen K3 holistik terdiri atas siapa, bagaimana, apa, peralatan, dan filosofi. Yang dimaksud apa adalah tempat kerja yang aman dan selamat dari kecelakaan. “Ini bisa menjamin kesuksesan penerapan K3,” jelasnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1970 telah mendefinisikan 18 kriteria tempat kerja yang aman seperti mengurangi dan mencegah kebakaran. Untuk bagaimana merupakan penerapan dari SMK3 dan siapa adalah semua pihak terkait, sedangkan peralatan adalah program K3.
Soehatman menyodorkan ‘smart safety’ yang merupakan singkatan dari safety management and attitude reinforcement technique.
Hal ini merupakan pendekatan K3 dengan mensinergikan pendekatan kesisteman, operation safety, dan human factor. Selain itu juga memperhatikan pendekatan budaya.
“Sekarang era revolusi 4.0 adalah strategi keselamatan berbasis budaya dan bagaimana mengelola resiko,” tandasnya.
Tiga pilar K3 yang diutarakan Soehatman adalah engineering, process and standard, dan behavior. Dari hal ini faktor manusia paling besar yakni sebesar 40% dan sisanya masing-masing sebesar 30% adalah procedur and system, serta engineering process.
“Ujungnya adalah manusia yang menjalankan sistem, sehingga dibutuhkan manusia yang peduli dan mampu menjalankan K3,” tegasnya. (adm)