Food safety

Sebagian Pelaku Usaha Makanan Belum Sadar Food Safety

Pemilik usaha yang memperoleh sertifikasi HACCP diharapkan tidak membuat makanan dengan cara-cara sebelumnya.

Jakarta, isafetymagazine.com – Sebagian pelaku usaha makanan menjajakan barang dagangannya tanpa memperhatikan food safety (keamanan pangan).

Hal ini dilihat dari penjualan makanan di sekitar lingkungan yang kotor dan penyajian makanan dengan peralatan tidak bersih.

Mereka juga membuat makanan dari sisa-sisa bahan makanan yang dibuang para pedagang di pasar tradisional yang dianggap rusak dalam pendistribusiannya.

“Tiga hal utama yang mempengaruhi keamanan pangan yaitu  pengolahan, penyajian, dan pengemasan,” kata Staf Pengajar Tata Boga Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ari Fadiati.

Hal ini dikemukakannya dalam webinar ‘Food Safety: Untuk Kuliner Online Rumahan & Kuliner Kaki Lima Beserta Jasa Pengirimanya dan Pendidikan Teknologi Pangan di Masa Depan’ pada Jumat (11/6/2021).

Padahal, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan dan Mutu Gizi Pangan.

Ketentuan ini dikeluarkan guna mencegah pangan dari pencemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang menganggu keamanan dan kesehatan masyarakat.

“(Ini) untuk menghindari faktor resiko terjadi kontaminasi makanan dari orang, tempat, dan peralatan yang digunakan,” ujarnya. 

Direktur Universitas Terbuka Jakarta, Edward Zubir sepakat masyarakat tidak hanya membutuhkan makanan yang bergizi, tetapi makanan ini harus aman dikonsumsinya.  

“Penanganan pangan mulai dari tahap persiapan, kebersihan, pengolahan, hingga penyajian makanan,” tuturnya.

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan sebanyak 12% dari masalah keamanan pangan di Indonesia adalah keracunan makanan. Dari angka ini sebanyak 29% penyebab keracunan berasal dari faktor kebersihan makanan.

“Hal ini bisa terjadi akibat kontak tubuh pekerja pembuat makanan baik yang disengaja atau tidak disengaja,” ucap Edward.

Pangan yang aman, ucap Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Terbuka (UT), Agus Santoso adalah tidak mengganggu kesehatan, keracunan, atau penyakit bila dikonsumsi orang.

Hal ini telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 86 tahun 2019 tentang keamanan pangan.

Dengan demikian, penjualan makanan terhindar dari pencemaran makanan dari faktor biologis, kimia, dan benda lain yang mengganggu dan berbahaya bagi kesehatan.

Selain itu tidak bertentangan dengan agama dan budaya masyarakat.

Budi mengemukakan sebagian makanan ditambah pelaku usaha makanan dengan zat-zat berbahaya bagi kesehatan seperti formalin dan boraks pewarna tekstil.

“Dampaknya bisa menyebabkan penyakit ringan, sedang, dan berat yang bisa dirawat di rumah sakit yang bisa berujung kematian,” tuturnya.

Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Arif Satria, menyoroti edukasi perlu dilakukan pemerintah kepada pedagang kaki lima tentang keamanan pangan.

Langkah ini pernah dilakukannya dengan menggelar ‘Street Food Project’ bagi penjual makanan di sekitar kampus IPB.

“Edukasi ini menjaga agar para pedagang konsekuen pada food safety,” kata Arif.  

Dengan demikian, Ari meminta para produsen makanan menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Hal ini sebagai pedoman mengevaluasi dan mengontrol keamanan pembuatan makanan.

Dari hal ini dapat ditetapkan bagaimana pengolahan makanan, jangka waktu penyimpanan makanan, dan resiko penggunaaan makanan.

“Sertifikat HACCP adalah bukti penerapan ini di tempat usaha yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi independen dan jaminan keamanan pangan,” ucapnya.

Pemilik usaha yang memperoleh sertifikasi HACCP diharapkan tidak membuat makanan dengan cara-cara sebelumnya. Hal ini terus dikontrol oleh suatu lembaga independen dengan pemberian sertifikat hanya selama jangka waktu tertentu.

“Untuk memperoleh sertifikasi HACCP dapat membentuk tim yang akan mengikuti pelatihan terlebih dahulu,” tuturnya.

Produsen juga diminta Ari memberikan label berupa deskripsi makanan yang memuat berbagai bahan makanan. Jadi, makanan ini dapat diketahui aman.

“Di Amerika tahun 80-an produknya sudah tertulis bahan apa saja yang ada dalam makanan itu,” katanya.

Sementara itu Perwakilan Komunitas Kita Bijak, Endang TR meminta para produsen makanan dapat menerapkan sertifikasi keamanan pangan. Langkah ini akan dapat diajukan secara digital lantaran pandemi Covid-19.

“Data akan berguna di masa mendatang,” ucapnya.

Pada sisi lain penjamah makanan diharapkan Ari menggunakan seragam dan sarung tangan supaya makanan terhindar dari kotoran yang melekat di tubuhnya. Tempat pembuatan makanan juga perlu memiliki pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup.

“Bahkan, kepala dapur mesti menggunakan neg tie,” tuturnya.

Jika penggunaan tempat pembuatan makanan telah selesai, maka ini mesti dibersihkan supaya tidak kotor. Selain itu terdapat tempat pembuangan sampah dan tempat mencuci tangan.

Pemilik usaha makanan juga perlu menyediakan tempat istirahat dan tempat menyimpan barang-barang bagi pekerja setelah pembuatan makanan selesai.

Untuk penyajian makanan mesti dilakukan sesuai jenisnya apakah panas, hangat, atau dingin. Pengemasan makanan diusahakan menggunakan bahan yang tidak berbahaya bagi makanan seperti styroform dan kertas koran.

Chef Beny Budiarso menambahkan pengemasan makanan bisa menggunakan plastik yang diikat supaya makanan tetap dalam keadaan terbungkus secara rapat.

Menyinggung belanja bahan makanan, ujar Ari, disarankan melebihi dari kebutuhan untuk persediaan. Namun, ini disarankan hanya sebesar 30% dari kebutuhan.

“Hal ini supaya bahan makanan tidak rusak dan menyulitkan tempat penyimpanannya,” ucapnya. (adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button