Tak Mudah Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
JAKARTA– Situasi Penyakit Akibat Kerja (PAK) atau occupational diseases di Indonesia ibarat fenomena gunung es. Jumlah kasus PAK yang terdiagnosis dan dilaporkan, diyakini kuat hanya sebagian kecil saja dari jumlah kasus PAK yang sebenarnya terjadi di Indonesia.
Penyebabnya adalah sumber daya manusia (SDM) yang mampu melakukan diagnosis PAK jumlahnya tidak banyak. Imbasnya, pelayanan bagi para pekerja yang menderita PAK juga menjadi tidak optimal sehingga para petugas layanan kesehatan merasa kesulitan untuk mendata kasus PAK.
Saat dikonfirmasi, Ketua Umum Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI) dr Nusye E Zamsiar, MS, SpOK tak memungkiri ihwal sedikitnya jumlah SDM yang mampu melakukan diagnosis PAK. “Jumlah dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (SpOK) di seluruh Indonesia saat ini kurang dari 200 orang,” kata dr Nusye saat disambangi ISafety di Klinik Triaz Persada di Graha CIMB Niaga Jakarta, Rabu (25/1/2017) siang.
Jumlah itu memang terasa sangat timpang jika dibandingkan dengan kasus PAK yang jumlahnya mencapai ratusan ribu bahkan tidak menutup kemungkinan menembus angka jutaan kasus, setiap tahunnya. Tapi, kata dr Nusye, SDM yang mampu melakukan diagnosis PAK bukan hanya dokter spesialis okupasi saja. “Diagnosis PAK juga bisa dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan Diagnosis PAK dan dokter Magister Kedokteran Kerja (MKK). Jumlah mereka lumayan banyak,” kata dr Nusye.
Dikatakan, penyakit akibat kerja harus dibedakan dengan penyakit biasa walaupun jenis-jenis PAK tak ubahnya penyakit yang umum diderita masyarakat. PAK terkait erat dengan pekerjaan. Yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja.
Menurut dr Nusye, ada tujuh langkah yang harus dilakukan untuk menentukan diagnosis PAK dan ketujuh langkah itu harus dilakukan secara berurutan. Yaitu diagnosa klinis, pajanan di lingkungan kerja, adakah hubungan antara pajanan dan penyakit, apakah pajanan yang dialami cukup besar, adakah faktor-faktor individu yang berperan, adakah faktor lain di luar pekerjaan atau tempat kerja, dan langkah ketujuh atau terakhir adalah menentukan diagnosis PAK/bukan PAK.
Ditambahkan dr Nusye, diagnosis PAK penting dilakukan untuk menentukan, apakah seorang pekerja terkena penyakit akibat kerja atau bukan dan jenis penyakit akibat kerja apa yang dideritanya.
Ketujuh langkah diagnosis PAK itu tertuang dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Meski terkesan terlambat (ditetapkan di Jakarta 24 Oktober 2016), selaku Ketua Umum PERDOKI, dr Nusye menyambut baik kehadiran Permenkes No 56 Tahun 2016. “Tidak ada kata terlambat,” ujarnya singkat. (Has)