JAKARTA, ISafetyMagz.com – INSIDEN tumpahan minyak di Teluk Balikpapan yang terjadi pada Sabtu, 31 Maret 2018 lalu masih menjadi topik pemberitaan hangat di media massa maupun di kalangan masyarakat, bahkan menjadi sorotan media internasional. Tumpahan minyak tersebut tepatnya terjadi di sekitar wilayah Pelabuhan Pertamina unit Pengolahan V Balikpapan dan menimbulkan kebakaran dan bahkan terdapat korban jiwa.
Menurut laporan tim investigasi tumpahan minyak diperairan Teluk Balikpapan, minyak yang tumpah berasal dari pipa bawah laut Pertamina. Pipa minyak Pertamina tersebut terputus dan terseret sejauh 100 meter pada kedalaman 22-26 meter di bawah permukaan air laut.
Proses penanggulangan tumpahan minyak yang terjadi di Teluk Balikpapan ini, baru dilaksanakan secara besar-besaran setelah tiga hari insiden terjadi. Hal ini dikarenakan awalnya Pertamina mengira minyak yang tumpah bukan minyak milik Pertamina. Setelah tiga hari dari insiden tumpahan minyak tersebut, Pertamina melakukan pembersihan dibantu oleh semua perusahaan asing yang melakukan eksplorasi dan produksi di Balikpapan dan juga tim ahli dari perusahaan nasional yang memang sudah ahlinya di bidang penanggulangan tumpahan minyak.
Jika membahas tentang peraturan dan perundang-undangan tumpahan minyak, kita sudah lebih maju dibandingkan negara-negara tetangga sebab kita sudah memiliki banyak peraturan juga Undang-undang penanggulangan tumpahan minyak dan pencemaran lingkungan, di antaranya; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 2001 tentang Kepelabuhan, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 58 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan. Sedangkan untuk penetapan sanksi, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta masih ada beberapa Undang-Undang dan Peraturan lainnya.
Dalam penanggulangan tumpahan minyak hal yang paling utama dilakukan pada saat terjadi tumpahan yaitu menetapkan garis lintang dan garis bujur, lalu memasukan data ini ke dalam program trajectory modelling. Dengan trajectory modelling tersebut kita akan mendapatkan manfaat sebagai berikut:
- Waktu untuk mempersiapkan penanggulangan tumpahan minyak
- Prediksi berapa lama minyak akan sampai di wilayah pantai
- Prediksi luas penyebaran tumpahan minyak di laut dan di pantai.
- Menentukan jumlah dan jenis Peralatan Penanggulangan Tumpahan Minyak yang dibutuhkan. Contohnya, panjang oil boom yang dibutuhkan dan jumlah skimmer yang diperlukan. Oil boom merupakan salah satu peralatan penanggulangan tumpahan minyak yang digunakan untuk melokalisir tumpahan minyak, dan oil skimmer adalah alat untuk menghisap minyak yang sudah dilokalisir oleh oil boom.
Setiap unit kegiatan pengusahaan minyak dan kegiatan pelabuhan harus memiliki manajemen risiko (risk management) atau di dalam oil spill kita lebih mengenal dengan istilah Oil Spill Contingency Plan (OSCP). OSCP merupakan buku panduan perencanaan penanggulangan tumpahan minyak, yang di dalamnya memuat perkiraan pergerakan tumpahan minyak, metode dan teknik penanggulangan, perhitungan kebutuhan personil serta jumlah yang benar dari peralatan penanggulangan tumpahan minyak dan trajectory modelling.
OSCP sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan yang dikenal dengan nama PM 58 pasal 22 ayat (1) yang menyatakan “Persyaratan penanggulangan pencemaran di unit kegiatan dan kegiatan pelabuhan dilakukan berdasarkan penilaian (assessment)”. Selanjutnya dijelaskan lebih terperinci di dalam ayat (2) yang menyebutkan: “Penilaian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengkaji antara lain:
- Potensi pencemaran yang dapat terjadi di area unit kegiatan lain atau pelabuhan;
- kepekaan lingkungan;
- kondisi arus dan angin di daerah unit kegiatan lain atau pelabuhan; dan
- perkiraan pergerakan tumpahan minyak dan bahan lainnya”
Serta pada ayat (3) juga menjelaskan tentang hasil penilaian: “Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
- hasil kajian potensi pencemaran di unit kegiatan lain atau pelabuhan;
- peta kepekaan lingkungan;
- perkiraan pergerakan tumpahan minyak;
- metode dan teknik penanggulangan pencemaran;
- perhitungan ketersediaan peralatan dan bahan;
- perhitungan ketersediaan personil, dan
- laporan akhir penilaian”.
Pertamina sudah memiliki Protap (Prosedur tetap) dalam penanggulangan tumpahan minyak. Tetapi, Protap dan OSCP tidak sama. Di samping itu selain ada perbedaan antara Protap dan OSCP, hal yang paling membedakan adalah protap tidak melampirkan trajectory modelling, sedangkan di dalam OSCP terdapat lampiran tentang trajectory modelling. OSCP harus disahkan oleh Direktorat Jenderal Hubungan Laut sedangkan Protap tidak bisa disahkan oleh Direktorat Perhubungan Laut.
Sesuai dalam PM 58 pasal 22 ayat (6) yang menyebutkan: “Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Direktur Jendral”. Jadi jelas bahwa Oil Spill Contingency Plan atau OSCP sudah sesuai dengan dengan peraturan ini.
Pertamina yang sudah memiliki OSCP adalah Pertamina Explorasi dan Produksi (EP) antara lain EP Tanjung, EP Tarakan, EP Bunyu, EP Sanga-Sanga, dan EP Sangatta. Pertamina Pengolahan yang sudah memiliki OSCP hanya Pertamina RU II Dumai, sedangkan Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan belum memiliki OSCP.
Belajar dari insiden yang terjadi di Teluk Balikpapan, kalau kita lihat trajectory modelling, lama waktu penyebaran minyak dari sumber tumpahan sampai kena pantai sekitar 7 jam. Andaikata Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan memiliki OSCP belum tentu juga Pertamina punya cukup waktu untuk menanggulangi tumpahan minyak ini. Tidak mudah untuk mempersiapkan peralatan tumpahan minyak dan membawanya dengan kapal dan siap menuju ke lokasi tumpahan dalam kurun waktu 7 jam, kecuali kalau Pertamina sudah mempersiapkan kapal sebelum kejadian itu. Insiden tumpahan minyak ini menjadi berita besar sebab ada korban jiwa dan penanggulannya baru dilaksanakan tiga hari setelah insiden. Hal ini dikarenakan masih adanya perbedaan pendapat mengenai siapa yang menyebabkan tumpahan ini.
Lihat table penyebaran minyak menurut hasil trajectory modelling dibawah ini.
Dalam penanggulangan tumpahan minyak hanya ada dua metode yang digunakan, yaitu metode mechanical dan metode chemical. Metode mechanical menggunakan peralatan penanggulangan tumpahan minyak seperti alat untuk melokalisir tumpahan itu (oil boom), alat untuk menyedot minyak yang sudah dilokalisir (skimmer) dan alat-alat lainnya. Kedua metode ini digunakan dalam menyelesaikan tumpahan minyak di Balikpapan. Metode selanjutnya adalah metode chemical dengan menyemprotkan dispersant di atas tumpahan minyak yang mengapung di permukaan air.
Metode chemical ini membahayakan biota laut sekitar pantai tersebut. International Maritime Organization (IMO) memiliki pedoman mengenai penggunaan dispersan yang salah satunya adalah mengatur tentang kedalaman perairan harus melebihi 10 meter untuk menggunakan metode chemical ini. Penggunaan dispersan sangat ketat peraturannya karena mengandung bahan dasar surfaktan.
Surfaktan termasuk berbahaya mengandung limbah B3 yang artinya beracun. Oleh karena itu, beberapa negara tidak memperbolehkan penggunaan dispersan seperti Yunani, Jepang, Norwegia dan beberapa negara lainnya. Dalam OSCP juga jelas disebutkan zona-zona mana yang tidak boleh disemprotkan dispersant, umumnya zone pantai, rawa-rawa, hutan bakau, zona air yg kedalaman kurang 10 meter dan zona-zona dianggap tidak aman apabila kena dispersant tidak boleh disemprotkan dispersant dalam jenis apapun.
Umumnya dispersan dijual dalam 2 jenis, yaitu jenis yang menggunakan bahan dasar air dan bahan dasar minyak. Ada pendapat dispersant yang menggunakan bahan dasar air tidak berbahaya dan ramah lingkungan. Sebenarnya dispersan yang mengunakan bahan dasar air juga tetap berbahaya dan tidak ramah lingkungan, hal ini disebabkan campuran utama dispersant baik dari bahan dasar air atau dari bahan minyak adalah surfaktan. Penggunaan dispersan seharusnya mulai untuk lebih diperketat atau di larang sama sekali pemakaiannya sebab Indonesia adalah salah satu negara pengekspor ikan terbesar didunia.
Di beberapa media massa banyak diberitakan mengenai penggunaan dispersan dalam pembersihan tumpahan minyak di wilayah pesisir pantai Balikpapan. Di salah satu stasiun televisi swasta ditayangkan seorang pejabat sedang menjelaskan tumpahan minyak dengan latar belakang orang-orang sedang menyemprotkan dispersan dipantai-pantai dekat dermaga dan permukiman warga. Andaikata pejabat tersebut telah mengikuti pelatihan IMO Level 3 tentunya tidak akan memberikan siaran press dengan latar belakang pekerja sedang menyemprotkan cairan dispersant yang mengandung surfaktan alias racun.
Metode mechanical tentunya jauh lebih mahal dari pada metode chemical, tapi dampak metode chemical seharusnya diperhitungkan juga. Untuk menguji metode chemical ini apakah merusak atau membunuh biota laut seharusnya dilakukan sampling setelah penyemprotan memakai dispersant. Sampling sebaiknya dilakukan oleh institusi atau universitas sehingga disini tidak ada faktor komersilnya.
Kita tahu bahwa peralatan penanggulangan tumpahan minyak memang mahal, dan pengoperasian peralatannya juga sulit. Selain itu, responder yang mengoperasikan peralatan tumpahan minyak harus profesional dan memiliki sertifikasi IMO level 1, 2, dan 3. Jadi tidak bisa sembarangan orang yang mengoperasikannya. Responder adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi dalam mengoperasikan peralatan penanggulangan tumpahan minyak.
Untuk responder yang bersertifikasi IMO Level 1 harus bisa mengoperasikan Peralatan tumpahan minyak dari berbagai jenis dan merek yang mempunyai cara kerja berbeda beda. IMO Level 2 mencetak ahli yang bisa menulis dan menyusun Oil Spill Contigency Plan (OSCP) atau buku panduan perencanaan penanggulannan tumpahan minyak. IMO 3 lebih ditekankan bagaimana menghitung klaim atas tumpahan minyak dan bagaimana menghadapi media pada saat dan sesudah tumpahan minyak. Bahkan sertifikat IMO Level 1, 2 dan 3 yang dikeluarkan oleh lembaga atau perusahaan training harus juga di setujui oleh Direktorat Jenderal Hubungan Laut (Hubla) sebagaimana disebutkan di dalam PM 58 Pasal 7 ayat (7): “Kompetensi personil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan sertifikat keterampilan yang dikeluarkan oleh lembaga/atau badan pelatihan yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal”
Di Indonesia sudah terdapat beberapa perusahaan atau Lembaga yang mencetak orang-orang yang memiliki kualifikasi dalam penanggulangan tumpahan minyak bahkan juga memberikan akreditasi bertaraf internasional dari The Nautical Institute, London.
Perusahaan minyak di dunia pada umumnya, menyerahkan permasalahan penanggulangan tumpahan minyak kepada pihak ke-3. Di Indonesia, telah disebutkan dalam PM 58 Bab IV pasal 8 ayat (2), PM 58 BAB V pasal 15 ayat (1) dan PM 58 BAB VII Pasal 22 ayat (5) bahwa baik alat, personil dan juga penilaian (assessment) dapat disediakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang penanggulangan pencemaran yang berbadan hukum Indonesia yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan.
Pada umumnya di luar negeri, hampir semua perusahaan minyak menyerahkan urusan tumpahan minyak ini kepada perusahaan yang memang ahli di bidangnya sehingga mereka bisa konsentrasi dalam bisnis mereka sendiri. PM 58 ini sudah sangat lengkap dalam menjelaskan dan mengatur permasalahan Penanggulangan tumpahan minyak dan bahkan memperbolehkan perusahaan minyak atau perusahaan yang berpotensi menumpahkan minyak menyerahkan masalah tumpahan minyak ke perusahaan lain yang benar-benar mempunyai kompetensi di bidang manajemen penangulangan tumpahan minyak.
Di Indonesia sendiri cukup banyak perusahaan minyak besar yang menyerahkan permasalahan penanggulangan tumpahan minyak kepada pihak ke-3, sehingga kesiapan dalam menghadapi tumpahan minyak lebih baik. Seperti Repsol, Exxon Mobile Cepu, Wilmar, Shell dan masih banyak lagi beberapa perusahaan lainnya.
Perpres 109 juga telah mengatur dengan jelas mengenai prosedur penanggulangan tumpahan minyak. Dalam tumpahan minyak di Balikpapan saya kira masuk dalam tier 2, sehingga tidak semua komponen pemerintah harus turut membantu. Perpres 109 sangat jelas membuat katagori mengenai penanggulangan tumpahan minyak dengan menyebut istilah yang dipakai di dunia yaitu; tier 1, tier 2 dan tier 3.
- Tier 1 kalau tumpahan terjadi dalam wilayah kerja perusahaan minyak dan gas bumi dan kegiatan lain dan bisa ditangani dengan Peralatan yang tersedia.
- Tier 2 kalau tumpahan terjadi dalam wilayah kerja perusahaan minyak dan gas bumi dan kegiatan lain dan TIDAK bisa ditangani dengan Peralatan yang tersedia.
- Tier 3 kalau tumpahan terjadi dalam wilayah kerja perusahaan minyak dan gas bumi dan kegiatan lain dan TIDAK mampu ditangani berdasarkan Tier 2 atau tumpahan melintas batas wilayah Negara. Penanggulangan tier 3 bisa melibatkan Negara dalam menanggulangi tumpahan minyak tersebut, dimana akan ada tim Nasional Penanggulangan tumpahan minyak dan juga dibentuk Pusat Komando dan Pengendalian Nasional (PUSKODALNAS).
Perpres 109 ini juga sudah diakui dunia, bahkan International Tanker Owners Pollution Federation (ITOPF) di London dalam notifikasinya menyatakan bahwa Perpres ini sebagai National Oil Spill Contingency Plan atau Perencanaan Penanggulangan minyak Nasional Indonesia.
Kita simpulkan pada dasarnya seluruh Peraturan dan Perundang-Undangan yang ada saat ini sudah bagus, yang perlu dikritisi adalah bagaimana pelaksanaannya di lapangan dan bagaimana setiap perusahaan, bukan hanya Pertamina dan perusahaan pengeboran dan explorasi minyak termasuk seluruh penyelenggara pelabuhan, badan usaha dan unit kegiatan lain yang punya potensi menumpahkan minyak, mereka harus tunduk dan dengan patuh melaksanakan apa yang sudah di amanatkan dalam Peraturan dan Perundang-Undangan yang sudah ada. (DR. Bayu Satya, B.Sc.*)
*Penulis: DR. Bayu Satya, B.Sc. merupakan praktisi dan pakar bidang penanggulangan tumpahan minyak. Penulis pernah menjadi pembicara di dalam dan luar negeri, salah satunya adalah menjadi pembicara ke tiga terbaik dunia dalam Simposium yang diadakan oleh Petroleum Association of Japan (PAJ) tahun 2007 di Tokyo Jepang yang dihadiri ahli dari 20 negara dan orang Indonesia pertama penerima International Carthage Award dari Accademia Premio Internazionale Alla Cultura Cartagine, Rome, Italy pada tahun 2014 karena dedikasinya dalam tumpahan minyak (release dari Kedutaan Besar RI di Roma, Italy tanggal 11 Juli 2014.)