Jakarta, isafetymagazine.com – Sebagian perusahaan masih memandang implementasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebagai biaya yang harus dikeluarkannya secara sia-sia. Padahal, ini bisa mengurangi kerugian akibat kematian dan penyakit kerja di tempat kerja.
”Jika tidak ada K3, perusahaan bisa menanggung kerugian hingga 4% dari gross domestic product di tingkat global akibat penyakit dan kematian di tempat kerja. Hadirnya K3 bisa menjadi elemen kunci untuk menekan kerugian tersebut dan mewujudkan SDGs nomor 3 (good health and wellbeing) serta nomor 8 (decent work and economic growth),” kata National Project Officer International Labour Organization (ILO) Indonesia, Abdul Hakim.
Pernyataan ini disampaikannya saat seminar nasional K3 bertajuk ‘The Role of Digitalization in Occupational Health and Safety in Supporting Sustainable Development Goals (SDGs) 2030’ yang digelar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) pada Sabtu (15/10/2022) secara daring.
Acara ini puncak dari rangkaian kegiatan OHS Expo yang diselengarakan oleh Occupational Health and Safety Community (OHSC) FKM UI dan diikuti oleh peserta yang berasal dari akademisi, praktisi, dan mahasiswa.
Pada sisi lain Staf Pengajar Departemen K3 FKM UI Dr. dr. Zulkifli Djunaidi, M.App.Sc., mengemukakan empat hal dalam safety resilience yakni learn, respond, monitor, dan anticipate yang bisa diintegrasikan K3 dengan suatu teknologi.
Ucapan tersebut disampaikan dalam presentasinya berjudul ‘Health and Safety Resilience and Its Connection to Smart Digital Technology’.
“Keempat hal ini tidak dapat dipisahkan, melainkan harus selalu diimplementasikan bersama-sama,” ujarnya.
Keppel Land mengamini keberadaan teknologi membantu penerapan K3 di perusahaan lantaran teknologi meningkatkan kenyamanan dan kemudahan hidup manusia. Apalagi, teknologi dalam bidang K3 terus berkembang setiap waktu.
“Adanya virtual reality di tempat konstruksi untuk memperkirakan bahaya dan risiko serta smartphone safety app untuk memberikan notifikasi bahaya kepada pekerja,” ujar Head of Health and Safety Keppel Land, Hariyadi Nugroho.
Dengan demikian, praktisi, akademisi, dan masyarakat harus mempersiapkan diri, memperbaharui perkembangan teknologi, melakukan inovasi, dan agile (lincah) dalam menghadapi perubahan.
Manager HSE Operation PT Borneo Indobara, Bakhtiar Sinaga menambahkan perlindungan pekerja dapat dilakukan melalui digitalisasi data. Hal ini dapat dilakukan oleh industri pertambangan yang menghadapi bahaya dan risiko yang tinggi bagi pekerjanya.
Pertambangan dituntut menjalankan peraturan yang berlaku untuk menjaga keselamatan pekerja.
”Saat ini keselamatan bukan lagi dianggap sebagai hambatan, namun pendukung terkhusus dengan adanya digitalisasi, kita bisa mendapat data yang akurat dan cepat kemudian membuat database yang lengkap dan seragam dengan biaya murah sehingga bisa memberikan rekomendasi kebijakan yang efektif,” tuturnya. (uif/adm)