Jakarta, isafetymagazine.com – Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan pasar modal Indonesia mencapai pertumbuhan jumlah investor dan peningkatan instrumen investasi berbasis Environment, Social, and Governance (ESG).
Kondisi ini diiringi dengan kenaikan tuntutan investor, regulator, dan masyarakat terhadap akuntabilitas perusahaan terutama ESG.
Dengan begitu keberlanjutan menjadi dasar pengambilan keputusan investasi, bukan hanya program corporate social responsibility/CSR (tanggungjawab sosial dan lingkungan/TJSL) perusahaan.
“Landscape bisnis global berkembang pesat, dan ekspektasi stakeholder mengarah pada akuntabilitas yang jauh lebih tinggi,” kata Kepala Divisi Peraturan dan Layanan Perusahaan Tercatat PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Teuku Fahmi Ariandar.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam acara ‘Green Economic Outlook 2026’ di Jakarta pada Kamis (11/12/2025).
“Isu-isu lingkungan dan sosial juga sangat memengaruhi proses pengambilan keputusan investor di pasar modal.”
Jadi, perusahaan tidak hanya berorientasi mencari keuntungan saja sekarang.
Namun, organisasi bisnis ini perlu mengintegrasikan prinsip ESG dalam kegiatan operasional.
“Peran corporate secretary dinilai semakin strategis karena bertanggung jawab memastikan kepatuhan perusahaan sekaligus menjadi motor penggerak tata kelola yang lebih transparan dan berkelanjutan,” ucapnya.
Sementara itu BEI terus memperkuat standar pelaporan agar lebih transparan dan sejalan dengan praktik global.
Langkah ini dilakukan dengan merilis berbagai inisiatif untuk memperkuat ekosistem keberlanjutan.
Hal yang dimaksud seperti pengembangan indeks ESG global dan domestik.
Kemudian, edukasi dan kolaborasi regional terkait ekonomi hijau dan penyediaan ESG Matrix Reporting melalui platform SPI-IDX.
Selanjutnya, peluncuran Green Equity Visitation pada waktu dekat dan pengembangan platform baru untuk perdagangan karbon.
“Transformasi pasar modal menuju keberlanjutan bukan hanya visi, tapi langkah nyata untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan siap menghadapi tantangan masa depan,” tuturnya.
Teuku Fahmi Ariandar mengemukakan ESG menjadi elemen penting bagi investor global.
ESG Matrix Reporting meliputi tujuh metrik lingkungan, 12 metrik sosial, sembilan metrik tata kelola.
Pelaporannya meliputi emisi gas rumah kaca dan indikator operasional yang mencerminkan tanggung jawab sosial perusahaan.
BEI juga menyediakan ESG Disclosure Guidance di platform SPI-IDX.
Hal ini untuk menunjang perusahaan melaporkan setiap indikator secara akurat.
“Dengan pelaporan yang sistematis dan terstandar, perusahaan dapat membangun kepercayaan, melacak progres target keberlanjutan, dan memposisikan diri sebagai entitas yang siap menghadapi tuntutan regulasi masa depan,” tuturnya.
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon (PPITKNEK) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Ary Sudijanto menambahkan upaya penerapan prinsip ESG tidak bisa dipandang sebagai beban.
Namun, ini upaya menjaga keberlanjutan ekonomi dan daya saing Indonesia.
Contohnya, dampak perubahan iklim terhadap aktivitas ekonomi terutama di wilayah yang rawan bencana hidrometeorologi.
Gangguan cuaca ekstrem sering terjadi di Sumatera menjadi risiko iklim yang menekan rantai produksi, logistik, dan keberlanjutan usaha.
“Dengan kejadian bencana hidrometeorologi di Sumatera bagian utara, pasti akan terjadi gangguan, tambahan biaya, bahkan kerugian bagi bisnis di sana,” ujarnya.
“Ini risiko nyata yang tidak bisa kita abaikan.”
Pada sisi lain transformasi menuju ekonomi rendah karbon mesti dilakukan Indonesia agar tidak mampu bersaing secara global.
Negara-negara maju telah menjadikan standar keberlanjutan sebagai acuan dalam perdagangan, investasi, dan pengelolaan rantai pasok.
Jika Indonesia tidak segera menyesuaikan diri, maka ini akan mengurangi akses pasar dan penurunan minat investor.
Komitmen keberlanjutan bukan cuma masalah pemerintah, tetapi membutuhkan keterlibatan sektor swasta, lembaga keuangan, dan masyarakat.
Dengan kenaikan frekuensi bencana dan pengetatan standar global, maka ESG harus dilihat sebagai investasi jangka panjang bagi keberlanjutan bisnis dan pembangunan nasional.
“Ini bukan soal mengikuti tren, tapi soal memastikan Indonesia tetap berdiri kuat di tengah perubahan dunia,” ujarnya.
Sementara itu nilai aset produk investasi berbasis ESG termasuk reksadana dan Exchange Traded Fund (ETF), ucap Teuku Fahmi Ariandar, mencapai pertumbuhan selama satu dekade terakhir.
“Pada 2015 nilai asetnya hanya Rp36 miliar. Per September 2025 sudah menembus Rp7 triliun, meningkat 194 kali lipat,” ucapnya.
Jumlah produknya juga berkembang dari hanya satu produk pada 10 tahun lalu menjadi 26 produk pada 2025.
Begitupula manajer investasi juga naik dari satu manajer investasi ke menjadi 15 manajer investasi yang menawarkan produk berkelanjutan. (adm)
Sumber: Hukum Online














