Safety Management

Membangun Budaya K3 seperti Perang Gerilya

Menghadapi perang gerilya tidak pernah menang mulai dari perang menghadapi Belanda.

Hari-hari terakhir ini kita banyak didengungkan tentang budaya Keselamtam dan Kesehatan Kerja (K3). Bahkan, tema bulan K3 setiap tahun juga menyebut budaya K3.

Menghadapi pandemi Covid-19, pemerintah mencanangkan budaya K3 atau disebut perubahan perilaku yang dikenal dengan Iman, Imun, dan Aman (3M).

Namun, sejauh ini lebih banyak bersifat slogan atau retorika belaka, tanpa upaya kongkrit yang terencana. Bagaimana membangun perilaku, bagaimana membangun budaya K3 dan memeliharanya agar terus meningkat.

Membangun budaya K3 tidaklah mudah seperti dikatakan Prof James Reason, “Managing Safety is like fighting a geurilla war in which there are no final victory. It is a never ending struggle to identify and eliminate or control hazards.”

Menghadapi perang gerilya tidak pernah ada yang menang, mulai dari perang gerilya menghadapi Belanda dengan senjata bambu runcing. Perang Vietnam, Afganistan, Aceh dan sekarang sedang masih berlangsung di Poso dan Papua.

Menghadapi perang gerilya dengan teknik hit and run sangatlah sulit. Begitupula membangun budaya safety (keselamatan).

Untuk itu, membangun budaya tidak bisa sekadar slogan, tetapi harus dengan amunisi cukup. Namun, ini membutuhkan strategi dan program kerja yang jelas dan dengan manajemen yang terpadu.

Sampai sekarang masih sedikit perusahaan yang memiliki personal atau fungsi khusus yang bertugas mengelola atau mengurus budaya safety atau perubahan perilaku.

Belum atau tidak punya sistem untuk mengelola budaya K3 atau memiliki metoda/alat yang handal untuk memperbaiki perilalu. Selain itu tidak ada roadmap yang jelas untuk membangun budayanya.

Bukankah budaya safety terdiri atas sejumlah level, mulai dari level reactive sampai level interdependent sebagai level tertinggi. Apakah semua perusahaan telah memiliki roadmap ini atau sudah menyusun rencana perubahan perilaku.

Kalau tidak, maka perang gerilya tidak akan bisa dimenangkan untuk membangun budaya safety secara komprehensip, sistematis, dan konsisten.

Sebenarnya, ini mirip dengan menanam benih. Benih budaya safety tidak akan dapat tumbuh di tanah yang gersang memerlukan lingkungan yang kondusif .

Jadi budaya safety akan tumbuh di tengah organisasi yang memiliki komitmen terhadap K3, memiliki kepedulian, dan menempatkan K3 sebagai bagian integral dari bisnisnya.

Budaya safety juga seperti tanaman yang harus dipupuk, dirawat dan dijaga setiap waktu. Pupuk yang baik untuk budaya safety adalah partisipasi aktif dari semua pekerjanya.

Semua manusia di dalam perusahaan untuk menanamkan semangat saling ingat mengingatkan. Budaya safety juga harus selalu dirawat dan dijaga konsistensinya melalui observasi, audit, dan pemantauan berkala.

Budaya safety juga seperti tanaman yang memerlukan kasih sayang dari pemiliknya. Kemudian, ini dipajang di tempat terhormat dan diberikan penghargaan sesuai dengan pencapaiannya.

Mudah-mudahan dalam  bulan K3 ini, kita dapat jadikan momentum untuk menilai budaya kita masing-masing sudah dimanakah kita?

WSO Indonesia Representative, Soehatman Ramli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button