Pekerja di Ketinggian Harus Bersertifikat
JAKARTA-Bekerja pada bangunan tinggi dan pada ketinggian kini tak bisa lagi dilakukan sembarang orang. Mereka yang bekerja di ketinggian, harus mengantongi sertifikat lulus pembinaan K3 dan memiliki jam terbang minimal 500 jam bagi pekerja di ketinggian tingkat 2 dan minimal 1.000 jam bagi pekerja di ketinggian tingkat 3.
Ketentuan yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 9 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Pekerjaan Pada Ketinggian ini harus ditaati dan dilaksanakan semua pihak yang terlibat pekerjaan pada ketinggian. Jika dilanggar, sanksi (baik pidana maupun administratif) sudah menanti sebagaimana diatur UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah tampaknya memang tidak main-main dalam mengatur pekerjaan ketinggian, mengingat tingginya angka kecelakaan yang terjadi. Merujuk data yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)-Ketenagakerjaan, jatuh dari ketinggian merupakan kasus kecelakaan kerja tertinggi dalam empat tahun terakhir. Setiap tahun, jumlahnya mencapai sekitar 38% dari total kasus kecelakaan kerja yang rata-rata mencapai 100.000 kejadian.
“Karena itu, tingkat kecelakaan kerja di Indonesia pada pekerjaan ketinggian, harus dikurangi,” kata Ir Amri AK, Direktur Pengawasan Norma Keselamatan Kesehatan Kerja (PNK3), Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Kementerian Ketenagakerjaan, dalam acara seminar bertajuk ‘Keselamatan Kerja di Industri Konstruksi’ yang digelar di Jakarta belum lama ini.
Salah satu upayanya adalah dengan meningkatkan kualifikasi dan kompetensi para pekerja di pekerjaan ketinggian, baik pekerja di bangunan tinggi maupun pekerja di ketinggian, sebagaimana tertuang dalam Permenaker No 9 Tahun 2016. “Peningkatan kualitas SDM pada pekerjaan ketinggian sangat diperlukan,” tegas Amri.
Ihwal SDM yang kualitasnya perlu ditingkatkan ini diakui Ir Christofel P Simanjuntak, MSi, Deputy Head QHSE PT Total Bangun Persada dan Drs Dominggus Manuputty, MM, Sekjen Asosiasi Ahli Keselamatan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4I). Menurut keduanya, hal itu bisa terjadi dikarenakan kegiatan proyek konstruksi melibatkan banyak tenaga kerja kasar yang berpendidikan relatif rendah.
“Sesuai karakteristiknya, kegiatan proyek konstruksi melibatkan jumlah tenaga kerja yang besar. Untuk pekerjaan kasar, kami tidak bisa menentukan para pekerja berdasarkan jenjang pendidikan karena pekerjaan konstruksi membuka kesempatan kepada siapa saja untuk bisa bekerja. Tapi, kami di Total Bangun Persada, sudah berupaya menerapkan K3 secara terintegrasi di setiap tahapan kegiatan konstruksi. Tujuannya untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja,” kata Christofel di acara sama.
Total Bangun Persada sendiri, kata Christofel, mengkhususkan diri sebagai perusahaan konstruksi yang mengerjakan proyek-proyek bangunan tinggi. Karena itu, kecelakaan kerja berupa jatuh dari ketinggian juga tak luput dari proyek-proyek yang tengah dijalankan PT Total Bangun Persada.
Hal senada dikemukakan Dominggus. “Kegiatan konstruksi merupakan proyek padat karya, yang memiliki waktu pengerjaan terbatas dan banyak dari para pekerja proyek konstruksi itu yang berlatar belakang petani. Ketika menunggu masa panen, mereka mencari pekerjaan lain di perkotaan. Ini tidak bisa dihindari. Solusinya adalah membudayakan apel K3 sebelum kegiatan dimulai,” kata Dominggus. (Has)