Surabaya, isafetymagazine.com – Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Timur (Jatim) meminta kasus wahana seluncur yang patah di Kenjeran Park (Kenpark) Surabaya sebagai pendorong pengawas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) mendalami penerapan dan pengetahuan sertifikat laik fungsi (SLF) bagi industri.
Pihaknya siap bersinergi dengan semua lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi tersebut yakni Asosiasi Ahli K3, Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, dan Kadin.
“Kita duduk bersama, kita buat rumusan standar SLF itu apa sehingga proses itu akan jadi. Selama ini standar sudah ada tetapi butuh di-upgrade. Kemarin, setelah terjadi kecelakaan di Kenjeran, kami membuat perencanaan pengawasan untuk semua tempat wisata,” kata Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur Himawan Estu Bagijo.
Pernyataan ini disampaikannya saat ‘Focus Group Discussion: Peningkatan budaya K3 Untuk Mewujudkan Kemajuan Industri melalui Sertifikasi Laik Fungsi (SLF)’ yang digelar dalam rangka meramaikan HUT ke-11 Kadin Institute, Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu (14/5/2022).
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim mengamini semua industri harus memiliki SLF dan kompetensi di bidang K3. Jadi, saat insiden ini terdapat ahli yang kompeten yang menanganninya melalui prosedur yang benar.
“Karena semuanya terkait, produktifitas industri meningkat, kegiatan operasional, standar bangunan, operasional dan kinerja tentu akan berjalan bersama-sama,” ucap Wakil Ketua Bidang SDM dan Ketenagakerjaan Kadin Jatim Nurul Indah Susanti.
Himawan Estu Bagijo mengungkapkan manajemen K3 hanya diterapkan sekitar 30% dari sekitar 14.000-15.000 industri di provinsi tersebut.
“Penerapan dan budaya K3 di Indonesia, khususnya di Jawa Timur masih sebatas selogan, masih dalam bentuk normatif dan belum dalam bentuk kesadaran dan kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan budaya K3 di Jatim hanya perusahaan dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan perusahaan yang berorientasi ekspor. Pasalnya, K3 sebagai salah satu prasyarat agar produk mereka bisa diterima pasar global.
Untuk perusahaan dengan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) masih sangat minim dalam penerapan K3.
“Sebanyak 30% karena berhubungan dengan hasil produksinya yang ekspor karena kalau tidak ada, maka produk akan direject. Sementara semua PMA tidak perlu diragukan. karena standarnya sudah bagus,” ujarnya.
Himawan Estu Bagijo mengemukakan banyak komponen dalam penerapan K3 seperti perlindungan terhadap lingkungan kerja yang panasnya tidak boleh keluar.
”Itu kan semua alatnya harus di-cover, harus dibungkus dan itu membutuhkan biayanya tinggi. Makanya saya sebutkan belum menerapkan budaya K3 itu bukan berarti tidak sama sekali tetapi belum cukup seperti yang kita idealkan, termasuk dalam hal Sertifikat Laik Fungsi atau SLF,” ucapnya.
Pengurus Asosiasi K3 Jatim Edi Priyanto mengakui banyak kecelakaan kerja masih terjadi di industri, pusat perbelanjaan, fasilitas publik, industri pariwisata, perkantoran, dan sekolah.
Padahal, di luar negeri seperti di Belgia, kecelakaan kerja paling banyak terjadi di rumah seperti pada 2020 sebanyak 1.500 kecelakaan ini terjadi di rumah. Kemudian, 600 kecelakaan lalu lintas dan 200 kecelakaan di tempat kerja.
“Di Indonesia, dari data yang kami peroleh dari BPJamsostek menunjukkan bahwa klaim kecelakaan kerja tahun 2020 mencapai 177.161 klaim. Oleh karena itu, penerapan K3 di industri sangat penting,” ujarnya.
Dengan demikian, penerapan K3 dinilai Edi Priyanto sangat penting yakni sebagai tanggung jawab moral. Kemudian, melindungi keselamatan sesama manusia, bukan hanya sekedar pemenuhan terhadap peraturan atau mengejat profit (keuntungan) saja.
K3 juga sebagai tanggung jawab sosial, karena keharmonisan antara perusahan dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya merupakan satu kesatuan dari masyarakat. Terakhir sebagai strategi bisnis guna mencegah dan melindungi kerugian atau loss control management.
“Untuk itu, budaya K3 harus selalu dilaksanakan melalui kebijakan dan komitmen industri, membuat perencanaan K3, penerapan K3, perbaikan berkelanjutan, dan evaluasi kinerja,” ujarnya.
Nurul Indah Susanti yang juga menjabat sebagai Direktur Kadin Institute mengutarakan pihaknya berkomitmen melakukan sosialisasi K3 secara masif untuk meningkatkan budaya ini di Industri setempat.
Pasalnya, Kadin bertugas dan berperan menfasilitasi itu, termasuk pelatihan yang nantinya dilakukan oleh Kadin Institute.
“Apalagi ini nyambung dengan Perpres 68/2022 tentang revitalisasi program vokasi. Nah, disini peran Kadin sangat besar,” ucapnya.
Penerapan K3 masih rendah di Jatim dinilai akibat kesadaran ini belum maksimal yang akan dilakukan Kadin Jatim dengan menfasilitasi berupa Kadin Institute dan gedung yang dipunyainya.
Selain itu bekerjasama dengan tenaga-tenaga ahli dan lembaga sertifikasi profesi (LSP) terkait.
“Kita duduk bersama dan bergerak bersama, saya yakin ini akan tuntas. Tetapi jika ego sektoral masih ada, maka ini tidak akan jalan,” ucapnya. (adm)