Safety Management

Siapa Penanggungjawab Keselamatan Perlintasan Sebidang?

KAI telah menutup 311 perlintasan sebidang liar dalam rangka melakukan normalisasi jalur kereta api pada 2021.

Jakarta, isafetymagazine.com – Kereta Api Indonesia (KAI) segera menutup perlintasan sebidang yang menjadi lokasi kecelakaan lalu lintas (lantas) antara Bus dan Kereta Api Dhoho relasi Blitar-Kertosono di perlintasan tidak terjaga antara Stasiun Tulungagung dan Ngujang pada Minggu (27/2/2022).

Walaupun demikian, pemerintah diminta meningkatkan keselamatan perjalanan di perlintasan sebidang sesuai kewenangannya.

“KAI berharap seluruh pihak dapat proaktif dan bersama-sama menjalankan tugas sesuai kewenangannya masing-masing untuk meningkatkan keselamatan perjalanan kereta api maupun para pengguna jalan itu sendiri,” kata Vice President Public Relations (VP PR) PT KAI (Persero) Joni Martinus pada Minggu (27/2/2022).

Banyak kecelakaan di perlintasan sebidang antara pengguna jalan dan kereta api juga akibat kedisiplinan pengguna jalan masih rendah.

Hal ini dilihat dari 271 kecelakaan lantas dengan 67 orang meningal dunia dan 92 orang luka-luka terjadi di perlintasan sebidang kereta api (KA) pada 2021.

Undang-Undang nomor 23Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 94 ayat 2 menyebutkan penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah (pemda).

Kemudian, Peraturan Menteri Perhubungan no 94/2018 Pasal 2 berisi pihak yang bertanggungjawab atas pengelolaan jalan yang berpotongan dengan jalur kereta api adalah pemilik jalannya.

Dari aturan tadi bahwa Menteri, untuk jalan nasional, gubernur, untuk jalan provinsi, bupati/walikota, untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa, dan badan hukum atau lembaga, untuk jalan khusus yang digunakan oleh badan hukum atau lembaga.

Kemudian, UU no 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 114 menyatakan yaitu, Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib: berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai di tutup dan atau ada isyarat lain, mendahulukan kereta api, dan memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintas rel.

Faktor lainnya mengenai perlintasan sebidang yang tidak dijaga yang perlu dijaga pemerintah daerah (pemda); Kebijakan ini dilakukan melalui dinas perhubungan (dishub) dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama KAI.

Kemudian, mereka melakukan audit untuk melakukan mitigasi risiko, sehingga terdapat solusi jangka pendek.

 “Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan nomor 94 Tahun 2018 Pasal 3, bahwa KAI berhak menutup perlintasan sebidang yang tidak terdaftar, tidak dijaga, dan/atau tidak berpintu yang lebarnya kurang dari dua meter,” ujarnya.

KAI telah menutup 311 perlintasan sebidang liar dalam rangka melakukan normalisasi jalur kereta api pada 2021. Namun, sekarang masih terdapat 3.105 perlintasan sebidang antara jalur kereta api terbagi atas 54% atau 1.696 merupakan perlintasan liar (tidak terjaga).

Langkah lain yang dilakukan KAI adalah sosialisasi keselamatan berlalu lintas di perlintasan sebidang yakni pada 2021 telah dilakukan 77 sosialisasi di berbagai daerah bersama para stakeholder.

“KAI berharap, kecelakaan lalu lintas di perlintasan sebidang terus ditekan melalui peran masing-masing pihak sesuai kewenangannya dan peningkatan kedisiplinan para pengguna jalan saat berlalu lintas,” ujarnya.

Sementara itu UU no 23/2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 124 menyebutkan perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

“Seluruh pengguna jalan harus mendahulukan perjalanan kereta api saat melalui perlintasan sebidang. Hal tersebut sesuai UU nomor 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian dan UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” tuturnya,

Dengan demikian, KAI akan menuntut pengusaha bus akibat kerugian yang dialamiya. Kecelakaan Kereta Api Dhoho menimbulan kerusakan pada sarana kereta api berupa kereta penumpang, lokomotif, serta keterlambatan perjalanan KA.

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno berkomentar kecelakaan rombongan bus pariwisata sering terjadi di Indonesia.

Pasalnya, pengemudi tidak paham dengan rute yang akan dilalui lantaran dia bukan pramudi tetap/pegawai di perusahaan otobus (PO) tersebut.

PO juga tidak memiliki risk journey sebagai panduan pramudi ketika akan berangkat ke suatu tujuan. Kondisi ini berakibat pengemudi tidak paham road hazard mapping pada rute yang akan dilaluinya.

Selain itu tidak terdapat tata cara mengemudi bus convoy (rombongan) di jalan, sehingga pramudi cenderung selalu ingin lebih cepat sampai tujuan tanpa memperhatikan keselamatan.

“Hal ini akan diperparah jika penumpang juga meminta pengemudi agar bus mereka paling duluan sampai di tujuan,” ucapnya. (ant/adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button