Jakarta, isafetymagazine.com – World Safety Organization (WSO) Indonesia menilai kecelakaan kerja di Indonesia terjadi akibat masyarakat negara ini belum siap masuk era industri dari era agraris. Era industri ditandai dengan transportasi cepat seperti kereta cepat.
“Bahayanya makin tinggi, resikonya juga semakin tinggi,” kata Chairman WSO Indonesia, Soehatman Ramli.
Pernyataan ini disampalkannya dalam ‘Webinar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja bertajuk ‘Terwujudnya Pekerjaan Layak yang Berbudaya K3 Guna Mendukung Keberlangsungan Usaha di Setiap Tempat Kerja’ yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unasa) pada Sabtu (25/2/2023).
Dengan demikian, kecelakaan kerja terjadi bukan akibat takdir dari Allah, karena manusia diberi akal dan pikiran untuk bisa mencegah kejadian tersebut. Jadi, apa yang dialami manusia akibat ulahnya sendiri.
“Kalau kita mau selamat, kita harus berusaha,” ujarnya.
Soehatman Ramli meneruskan kecelakaan kerja terjadi akibat tiga aspek yakni aspek teknik, aspek manusia, dan aspek manajemen. Dari hal ini sebanyak 96% kecelakaan kerja akibat aspek manusia.
“Nah inilah yang menjadi ilmu dari K3 sebagai seorang ahli K3 kita harus paham ini bagaimana,” ucapnya.
Untuk mengimplementasikan K3 perlu ditanamkan budaya ini terdiri dari tiga level yakni reaktif, dependen, dan interdependen. Untuk mencapai tingkat tertinggi yakni interdependen tidak mudah.
“Inilah tugas kita (ahli K3) bagaimana kita membangun supaya perilaku tidak aman menjadi perilaku aman menjadi keselamatan,” ucapnya.
Untuk melakukan ini, ucap Soehatman Ramli, menghadapi berbagai tantangan lantaran manusia memiliki nilai-nilai kehidupan. Hal ini yang menjadi perilakunya sehari-hari.
“K3 itu adalah bagian dari ibadah yang membuat pahala kalau kita menyelamatkan orang lain kita akan dapat pahala dari yang Maha Kuasa,” ujarnya.
Untuk membangun budaya K3 terbagi dua pendekatan yakni top down dan bottom up, pendekatan top down dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau institusi yang dilaksanakan oleh bawahannya.
Contohnya, pengoperasian KRL ekonomi ke KRL commuterline. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi, pelatihan, dan pemaksaan.
“Supaya dia sadar atau dengan pemaksaan diawasin dia dan dibuat sanksi,” ucapnya.
Soehatman Ramli mengemukakan pendekatan top down dilakukan pimpinan perusahaan dnegan memberikan contoh kepada bawahannya. Kalau pimpinannya tidak melakukan ini, maka bawahan akan sulit diminta melaksanakannya.
“Manajemen puncak berperan harus turun ke lapangan diibaratkan sebagai bintang di langit dialah yang memberikan sinar kehidupan, dialah yang memberikan sumber inspirasi di dalam perusahaan,” ujarnya.
Pimpinan perusahaan juga bisa memberikan bekal pengetahuan K3 kepada bawahannya selama lima menit setiap harinya.
Selanjutnya, menanyakan kesulitannya pada hari itu dengan berdialog diteruskan memperbaiki kekurangannya dan berdoa agar diberikan keselamatan selama bekerja.
Menyoal berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun budaya K3, ujar Soehatman Ramli, tidak pernah selesai. Langkah ini dapat dilakukan dari dalam dan luar perusahaan.
“Yang jadi tantangan kita jadi berapa lamanya itu tergantung perusahaan tapi kata kuncinya komitmen dari Bapaknya (pimpinannya),” tuturnya.
Malahan, sejumlah perusahaan diketahui belum menerapkan K3 diduga akibat belum tahu tentang hal tersebut. Selain ittu perusahaan tahu tentang K3 tapi tidak mampu menerapkanmya atau perusahaan tahu tentang K3, namun tidak mau menerapkannya.
“Pendekatan pertama diingarkan dan disadarkanm pentingnya K3 untuk bisnisnya terutama kalau dia sudah mengalami kecelakaan dan pendekatan. Kedua dalam pendekatan paksanologi atau dipaksakan tidak semata-mata pakai polisi tapi bisa pakai sistem,” ujarnya.
Walaupun demikian, Soehatman Ramli menyadari penerapan budaya K3 belum diwajibkan pemerintah sampai sekarang. Aturan hanya mewajibkan implementasi Sistem Manajemen K3 (SMK3).
“Ada cara mengukurnya ada standarnya banyak macam-macam pedoman budaya keselamatan,” ucapnya.
Apabila seorang pengusaha tidak mau menerapkan K3, maka dia bisa disebut pengusaha hitam. Hal ini dihadapi dengan paksanologi, bahkan di Singapura dikenakan denda.
Terkait kecelakaan kerja di perusahaan, ujar Soehatman Ramli, pengusaha harus bertanggungjawab atas keselamatan pekerja sesuai Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dan UU nomor 13 Pasal 86
“Kalau di sini banyak pengusaha yang tidak peduli dia karena hukum kita belum kuat,” ujarnya.
Kalau di Malaysia terdapat perusahaan tidak bertanggungjawab atas kecelakaan kerja, maka perusahaan itu akan dituntut oleh suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemerintah melindungi keselamatan kerja dengan penyelenggaraan kepesertaan BP Jamsostek.
Perusahaan diminta Soehatman Ramli menerapkan K3 bukan hanya sekedar aturan, tetapi tanggungjawab moral, sehingga jika seorang pekerja mengalami kecelakaan, maka ini mesti dianggap perusahaan tidak memiliki etik.
“Seorang pengusaha tidak hanya melihat tenaga kerja atau sebagai alat produksi aja tapi dia juga dengan keselamatannya anak istrinya di rumah nanti bagaimana kalau dia kecelakaan,” ucapnya. (adm)