Jakarta, isafetymagazine.com – Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) mengungkapkan Indonesia akan menghadapi Trilemma yakni tiga tantangan industri nikel dunia dalam penerapan standar Enviroment, Social and Governance (ESG).
Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Keterlibatan Pemangku Kepentingan dalam Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel’.
“Pertama adalah global demand. Saat ini permintaan global masih terus menurun dan beberapa market research memprediksi sampai tahun 2027 masih akan stagnan. Kedua, community price, dan yang ketiga adalah standar ESG itu sendiri,” kata Kontributor FINI, Mordekhai Aruan di Jakarta pada Rabu (27/8/2025).
Implementasi standar ESG akan menelan biaya yang akan meningkat bagi industri nikel seperti PT Vale Indonesia, Ceria Corp, PT Mitra Murni Perkasa dan Harita Nickel. Perusahaan-perusahaan ini menerapkan standar ESG yang baik dan profit.
“Jadi, sebetulnya kita punya sedikit harapan dari keyakinan bahwa kita bisa menerapkan standar ESG ini dan akan menjadi win-win bagi semua,” ujarnya.
Mordekhai Aruan mengemukakan produsen nikel dengan emisi terendah yakni Vale dengan intensitas 28,7 ton CO2 per ton nikel berkat bauran energi PLTA.
Namun, pasar green nickel belum terbentuk kuat.
“LME (London Metal Exchange) sudah menetapkan standar di bawah 20 ton CO2, sementara SMM (Shanghai Metal Market) belum menentukan,” ucapnya.
FINI berkolaborasi dengan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) untuk berbagai agenda bersama seperti Chief Executive Officer (CEO) gathering dan annual summit.
“Momentum penerapan ESG 2025–2026 tidak boleh hilang. Kuncinya adalah riset dan pengembangan serta peningkatan SDM (sumber daya manusia),” tuturnya. (adm)
Sumber: Majalah Nikel Indonesia