Safety at Work

Kecelakaan Kerja Masih Tinggi Akibat UU No.1/1970?

UU No.1/1970 juga belum memasukkan kata kesehatan kerja dan penyebutan pengaturan sektor informal dan pekerja migran.

Jakarta, isafetymagazine.com – Guru Besar Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Fatma Lestari menilai walaupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 sudah diberlakukan selama 51 tahun, tapi angka kecelakaan kerja masih tinggi.

Pernyataan ini didasarkan data Badan Pengelola Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BP Jamsostek) terdapat kenaikan kecelakaan kerja yakni sebanyak 177.000 kecelakaan kerja terjadi sepanjang Januari 2020-Oktober 2020 dibandingkan 2019 terjadi 114.000 kasus tersebut.

“Kecelakaan terbesar disumbang oleh sektor manufaktur dan sektor konstruksi yaitu sebesar 63%,” katanya.

Hal ini disampaikannya dalam ‘Refleksi K3 Nasional 2021:Menakar Efektivitas Implementasi UU Nomor 1 Tahun 1970 di Tempat Kerja’ pada Kamis (23/12/2021).

Kemudian, sektor transportasi sebesar 9,3%, sektor kehutanan sebesar 3,8%, pertambangan sebesar 2,6%, dan sisanya 20,7%.

Dari berbagai persentase ini terlihat kecelakaan kerja masih tinggi di sektor manufaktur dan sektor konstruksi dibandingkan sektor lainnya seperti transportasi. Padahal, risiko pekerjaan yang dihadapi sama besar.

Fatma meneruskan UU No.1/1970 juga belum memasukkan kata kesehatan kerja dan penyebutan pengaturan sektor informal dan pekerja migran. Padahal, banyak Warga Negara Indonesia (WNI) bekerja di luar negeri.

“Bagaimana undang-undang ini bisa melindungi pekerja informal, pekerja migran, masyarakat, karena kita tahu bekerja tidak harus di tempat kerja,” tuturnya.

Tempat kerja bisa di mana saja yakni bekerja secara daring, bahkan bekerja di rumah. Jadi, jika kecelakaan kerja terjadi di rumah, apakah ini sudah dilindungi oleh UU No.1/1970.

“Walaupun, undang-undang ini menyebutkan tempat kerja adalah semua tempat kerja yakni darat, udara, dan air,” ucapnya.

Dengan demikian, apakah implementasi UU No. 1/1970, ujar Fatma, melindungi semua pekerja di mana pun dia melakukannya yakni pekerja informal, pekerja migran, pekerja daring, dan bekerja dari rumah.

Sektor informal yang dimaksud seperti supir, nelayan, asisten rumah tangga, usaha mikro kecil menengah (UMKM), pedagang, petani, serta pekerja kreatif.

Keselamatan publik seperti bekerja di rumah rekreasi, dan berbelanja di pasar juga belum masuk UU No.1/1970. Bekerja di rumah menyangkut keberadaan anggota keluarga.

Apalagi, di sejumlah negara UU Keselamatan Kerja, ucap Fatma, telah mengalami perubahan banyak dan berkali-kali. Contohnya, Inggris yang memberlakukan UU Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bernama Health and Safety Act.

Inggris mulai melakukan perubahan Health and Safety sejak 1802 berlanjut ke 1833, berikutnya 1837, dan 1974. Revisi ini diteruskan pada 1988 dengan memasukkan keperluan exposure di tempat kerja untuk pengendalian pajanan di tempat kerja.

Hal lainnya yang dimasukkan dalam Health and Safety Act adalah major accident hazard.

“Undang-Undang ini dianggap masih relevan, tapi di berbagai bagian dalamnya sudah mengalami perubahan,” ujar Fatma.

Sementara itu UU K3 dilahirkan pemerintah pusat di Australia pada 2008 yang dijabarkan pemerintah federal secara rinci. Kemudian, ini diharmonisasi pada 2011 dengan Work Healh dan Safety Uniform Legislation.

“Pencegahan kecelakaan dan penyakit kerja dipandang lebih baik dibandingkan kecelakaan dan penyakit kerja,” ucapnya.

Kajian risiko kecelakaan kerja, ucap Fatma, dilakukan secara rinci dan komprehensif di Australia. Langkah ini bisa mencapai ribuan lembar di sektor konstruksi.

“Kita bisa benchmark ke Australia bagaimana UU K3 diimplementasikan perusahaan-perusahaan di Australia,” ucapnya. (adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button