Environment

Konsep ESG Secara Mendalam Hanya Dipahami 18% Responden

Mayoritas masyarakat juga mendukung pemberian sanksi lebih berat bagi perusahaan yang melanggar standar ESG.

Jakarta, isafetymagazine.com – Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas menyebutkan sebanyak 77,5% masyarakat telah menerapkan Environmental (lingkungan), Social (sosial), dan governance (tata kelola) atau ESG dalam kehidupan sehari-hari.

Hal yang dimaksud seperti memilih transportasi ramah lingkungan dan produk berkelanjutan. Namun, sebanyak 18% masyarakat saja memahami konsep ESG secara rinci.

Survei ini dikemukakannya dalam Lestari Forum 2025 dengan tema β€˜Building Resilience Through Inclusivity’ di Studio 2 Menara Kompas, Jakarta Pusat pada beberapa waktu lalu.

Forum ini menghadirkan Founder Green Network Asia Jalal, Deputy General Manager Litbang Kompas BE Satrio, serta Senior Manager EY Indonesia Climate Change and Sustainability Services Ika Merdekawati. Acara ini juga menandai peluncuran Lestari Awards 2025.

Deputy General Manager Litbang Kompas, BE Satrio mengungkapkan sebanyak 72,1% responden percaya sertifikasi ESG mencerminkan keseriusan perusahaan terhadap keberlanjutan.

Mayoritas masyarakat juga mendukung pemberian sanksi lebih berat bagi perusahaan yang melanggar standar ESG.

Media monitoring Litbang Kompas menunjukkan bahwa ESG memainkan peran penting dalam dua sektor utama:

Founder Green Network Asia Jalal menambahkan keberagaman bukan sekadar elemen kosmetik, tetapi harus diterjemahkan dalam keragaman kognitif yang benar-benar didengar.

Keputusan yang lebih inovatif dan efektif hanya dapat lahir dari organisasi yang memberi ruang bagi berbagai perspektif. Namun, banyak organisasi masih terjebak dalam ketidakadilan epistemik, di mana pandangan dari kelompok tertentu diabaikan.

Hal ini menghambat ketangguhan organisasi dalam menghadapi tantangan. Dengan memastikan semua suara memiliki bobot yang sama, organisasi dapat menjadi lebih adaptif dan bahkan anti-fragile, yakni semakin kuat setelah menghadapi krisis.

Untuk mewujudkan ketahanan yang sesungguhnya, organisasi perlu melakukan sejumlah hal yakni membangun tata kelola yang inklusif, dengan mengakomodasi kepentingan semua pemangku kepentingan.

Kemudian, menjamin keberagaman di semua tingkat organisasi, bukan hanya sebagai formalitas.

Selanjutnya, menghapus ketidakadilan epistemik, sehingga semua gagasan dapat dipertimbangkan secara setara.

Lalu, memanfaatkan kecerdasan kolektif, agar organisasi lebih siap menghadapi risiko global dan lokal.

Berikutnya, inklusivitas bukan sekadar nilai moral, tetapi strategi esensial untuk membangun organisasi yang benar-benar tangguh dan berkelanjutan di tengah ketidakpastian global. (kom/adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button