JAKARTA, isafetymagz.com – Kebiasaan mengobrol sesama pekerja dan penggunaan gadget hingga larut malam, menjadi penyebab para pekerja muda konstruksi kekurangan waktu tidur setiap harinya.
Setiap harinya, waktu (durasi) tidur para pekerja muda yang bekerja di sektor konstruksi itu rata-rata 4 – 6 jam atau kurang dari 8 jam/hari. Tim peneliti dari Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PKTK3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menemukan fakta bahwa menggunakan gadget hingga larut malam itu sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan mayoritas pekerja muda konstruksi setiap harinya.
Dari 440 pekerja muda yang bekerja di sejumlah proyek konstruksi di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang menjadi sampel penelitian, kebiasaan bermain gadget hingga larut malam itu dilakukan oleh sekitar 327 pekerja (74,3%).
“Kebiasaan mengobrol sesama pekerja serta penggunaan gadget yang diduga sebagai sarana hiburan melepas penat setelah bekerja seharian, justru menjadi masalah baru berkaitan dengan waktu tidur. Kebiasaan tersebut berdampak pada fenomena sulit tidur di kalangan pekerja yang kemudian berimplikasi pada kurangnya waktu tidur yaitu di bawah 8 jam/hari. Durasi tidur mereka rata-rata 4 – 6 jam/hari, dan dialami oleh mayoritas pekerja yaitu mencapai 74,3% dari 440 pekerja muda konstruksi yang menjadi responden dalam penelitian ini,” kata Prof Dr dr L Meily Kurniawidjaja, MSc, SPoK, anggota tim PKTK3 FKM UI saat memaparkan hasil penelitian tim dari PKTK3 FKM UI “Rapid Assessment of Occupational Safety and Health in Indonesia Particularly among Young Workers in the Construction Sector” di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Celakanya, untuk mengusir rasa kantuk dan berdalih memulihkan tenaga dan semangat kerja, para pekerja muda tersebut mengonsumsi minuman energi (energy drink) yang dijajakan kios-kios di sekitar lokasi proyek konstruksi.
“Saya tidak tahu mereka mendapatkan referensi dari mana, jika mengantuk dan badan merasa lelah setelah bekerja, maka ‘obatnya’ adalah kopi atau energy drink. Minuman energy drink ini sudah disiapkan dalam kondisi siap minum baik dalam bentuk kemasan botol maupun seduhan, disiapkan bergantungan di kantin atau kios-kios yang ada di sekitar lokasi proyek konstruksi,” kata Meily.
Menurut Guru Besar K3 FKM UI ini, zat yang terkandung dalam kopi yaitu caffein dan methyl xantin pada energy drink akan menimbulkan efek stimulan pada susunan syaraf pusat yang bisa meningkatkan semangat dan kesegaran sehingga orang yang mengonsumsinya akan merasa lebih segar dan tidak lagi didera rasa kantuk.
Tetapi itu sifatnya hanya sementara atau efeknya cuma sebentar. Setelah itu akan diikuti dengan kelelahan yang berlebih dan memerlukan waktu istirahat lebih banyak untuk membayar ‘hutang’ tidur atau istirahat, agar tercapai keseimbangan tubuh secara fisiologis.
Karena itu Prof Meily berharap agar semua pihak yang terkait di bidang konstruksi perlu mewaspadai kebiasaan meminum energy drink di kalangan pekerja konstruksi. “Sebab dalam jangka panjang, akan berdampak buruk pada kesehatan dan produktivitas pekerja, antara lain kebugaran menurun dan risiko CVD meningkat,” Prof Meily menambahkan.
Kurang tidur akan memicu terjadinya rasa kantuk dan tubuh akan menjadi terasa cepat lelah ketika bekerja di pagi harinya. Dalam industri konstruksi, yang merupakan bidang pekerjaan dengan tingkat risiko bahaya tinggi (high risk), mengantuk dan lelah yang dialami pekerja adalah situasi yang tidak boleh terjadi. Sebab ngantuk dan lelah akan menurunkan tingkat kewaspadaan dan mengendurkan daya konsentrasi serta menjadi sumber terjadinya kecelakaan kerja di sektor konstruksi.
Menurut Meily, selain bermain gadget hingga larut malam dan mengonsumsi energy drink, tidak sedikit juga pekerja yang mengonsumsi alkohol yaitu mencapai sekitar 10% dari total 440 pekerja muda konstruksi yang menjadi sampel penelitian tim dari PKTK3 FKM UI.
“Alasannya sama, yaitu melepas penat setelah bekerja dengan pergi ke tempat-tempat hiburan malam yang ada musik dangdutnya secara live. Ada yang seminggu sekali, ada yang dua hingga tiga kali dalam sebulan, dan paling banyak sebulan sekali. Saya juga heran, katanya upahnya tak cukup untuk membeli makanan yang layak, tapi kok mereka saya lihat malah ‘nyawer’ uang ke biduan dangdut di café-café,” kata Meily yang sengaja mengikuti sejumlah pekerja muda konstruksi ke sebuah tempat hiburan malam di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, dalam rangka penelitian.
Selain pergi ke tempat hiburan malam, ada juga yang mengonsumsi alkohol secara bersama-sama di sekitar lokasi proyek. Alasannya sama dengan energy drink yaitu untuk menjaga stamina dan kebugaran. “Pekerja termasuk pekerja muda perlu diedukasi untuk meluruskan tentang mitos alkohol dan energy drink sebagai minuman penambah semangat dan kebugaran. Mitos ini sangat keliru dan menyesatkan. Dalam jangka panjang, alkohol dan energy drink justru berdampak buruk pada kesehatan,” pungkas Prof Meily.
SafeYouth@Work ILO
Terpisah, Ketua Tim Peneliti dari Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PKTK3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Indri Hapsari Susilowati, SKM, MKKK, PhD menjelaskan, penelitian terhadap para pekerja muda yang bekerja di sektor konstruksi merupakan penelitian yang dilakukan untuk mendukung program ILO (International Labour Organization) yaitu SafeYouth@Work Project dengan cara melakukan survey K3 pada sektor konstruksi. “Penelitian ini berfokus pada bahaya dan risiko yang dihadapi pekerja muda yang bekerja di sektor konstruksi,” kata Indri.
Penelitian tim dari PKTK3 FKM UI pimpinan Indri tersebut dilakukan terhadap 440 pekerja muda sektor konstruksi di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat dengan lingkup area penelitian pada proyek konstruksi: (1) PLTU di Banten; (2) Transportasi (bandara, runway, LRT); (3) Hunian (apartemen); (4) Gedung perkantoran; dan (5) Gudang.
Indri menyadari bahwa hasil penelitian timnya itu tidak merepresentasikan keseluruhan pekerja muda sektor konstruksi di Indonesia. “Penelitian ini merupakan langkah awal. Perlu dilakukan peneliltian lebih lanjut dengan menambahkan variable lainnya yang belum diteliti seperti pola makan, intake nutrisi, aspek ergonomic (postur kerja, beban fisik, fit to work),” katanya. (Hasanuddin)