Safety Management

Mantan Anggota DPR RI Khawatir Revisi UU Nomor 1 Tahun 1970 Tinggal ‘Wassalam’

Sanksi sebesar Rp100 ribu atas pelanggaran UU no. 1/1970 menjadi salah satu alasan keperluan revisi aturan tersebut.

Jakarta, isafetymagazine.com –  Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI diminta segera mempersiapkan berbagai hal terkait revisi Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Karena, jika ini tidak dilakukan sejak kini, maka pembahasannya terus tertunda di parlemen.

“Walaupun revisi Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 sudah masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2025-2029, tapi bisa wassalam (selesai, red), bila tidak disiapkan dari sekarang,” kata Mantan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) Periode 2009-2014, Zulmilar Yanri.

Pernyataan ini disampaikannya saat Bincang-Bincang Keselamatan digelar World Safety Organization (WSO) Indonesia di Jakarta pada Kamis (21/11/2024).

Berbagai persiapan yang dimaksud seperti penyusunan naskah akademis, daftar invetaris masalah (DIM), waktu uji publik, dan anggaran pembahasan UU.

Pada kesempatan yang sama Chairman WSO Indonesia, Soehatman Ramli mengakui revisi UU no 1/1970 telah masuk Prolegnas 2025.

Hal ini diketahui usai dirinya didampingi sejumlah praktisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang tergabung dalam Indonesia Network of Occupational Safety and Health Professional (INOSHPRO) melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi Republik Indonesia (Baleg RI) pada akhir Oktober lalu.

“Kami diminta memberikan masukan kepada DPR tentang revisi Undang-Undang nomor 1 tahun 1970,” ujarnya.

WSO Indonesia telah memulai pembicaraan revisi UU no. 1/1970 dengan Komisi IX DPR RI dalam RDPU sejak tahun lalu.

Saat itu diwakili oleh Soehatman Ramli dan Saut P. Siahaan.

“Komisi IX DPR RI menanyakan mana yang lain dan yang muda-muda, sehingga pada pertemuan selanjutnya dengan Baleg DPR RI, kami menemuinya bersama INOSHPRO dan praktisi K3 lainnya,” ucap Soehatman Ramli.

Zulmilar Yanri meneruskan sanksi sebesar Rp100 ribu atas pelanggaran UU no. 1/1970 menjadi salah satu alasan keperluan revisi aturan tersebut.

Karena, denda ini dinilai terlalu rendah sekarang, sehingga bisa memicu potensi pelanggaran UU no. 1/1970 yang bisa berujung kecelakaan kerja.

“Sanksi 100 ribu rupiah sudah tidak sesuai dengan kemajuan teknologi dan informasi,” tuturnya.

Apalagi, International Labour Organization (ILO) sudah mengusulkan revisi UU no.1/1970 pada 2004.

Namun, pemerintah belum menjawab masukan ILO secara tegas saat itu.

“ILO mengapresiasi adanya kajian revisi Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 1970, sehingga mereka menyarankan untuk melakukannya,” tuturnya.

Dorongan ILO atas revisi UU no.1 tahun 1970 kepada Pemerintah RI lantaran negara ini diangap sebagai kali pertama di dunia yang mewajibkan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

Mantan Direktur Jenderal Bina Penempatan Tenaga Kerja (Dirjen Binapenta) Departemen Tenaga Kerja (Depnaker), Tjepy F. Aloewi menambahkan keberadaan UU no.1/1970 tidak harmoni dengan keberadaan berbagai aturan lainnya yang berkaitan dengan keselamatan kerja di sektor lain sebagai penyebab perlu revisi ketentuan tersebut.

Sektor-sektor lain yang dimaksud antara lain Peraturan Pemerintah (PP) no. 19 tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan.

Hal lainnya adalah aturan keselamatan di instansi perhubungan darat (hubdar).

“Ini bisa mencegah kecelakaan lalu-lintas,” ujarnya.

Hal yang sama juga dinilai Zulmilar Yanri bahwa revisi UU no.1/1970 perlu dilakukan lantaran aturan ini belum diperluas ke sektor-sektor lain.

Berbagai sektor itu seperti minyak dan gas (migas), pertambangan, konstruksi, penerbangan, dan kesehatan.

“Pekerja-pekerja itu harus kompeten, tapi Kemnaker (Kementerian Tenaga Kerja) belum mengaturnya,” tuturnya.

Padahal, Pemerintah RI sudah meratifikasi national policy framework terkait ketenagakerjaan dari ILO. Namun, ini hanya dituangkan dalam perpres.

“Jangkauan perpres itu lemah dibandingkan undang-undang,” ucapnya.

Persoalan lainnya tentang penerapan UU no.1/1970 adalah ketentuan ini tidak menyebut siapa yang memimpin pelaksanaan K3 di Indonesia. Apakah Kemnaker, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), atau institusi negara lainnya.

Sementara itu Anggota Komisi III Dewan K3 Nasional, Saut P. Siahaan berpendapat guna mengantisipasi kebutuhan penerapan K3 tidak mesti dilakukan dengan revisi UU no. 1/1970, tapi itu bisa dilakukan dengan akselerasi aturan saja.

Pasalnya, revisi ini bisa berdampak sejumlah hal seperti siapa yang memimpinnya.

“Selama ini aturan K3 masih tersebar di sektor-sektor lain, harusnya di dalam satu negara hanya satu,” ucapnya.

Apalagi, revisi seperti penyusunan uu membutuhkan pembuatan naskah akademik dan inventaris masalah.

“Hal ini supaya perubahan uu tidak terjadi duplikasi dan tumpang-tindih aturan,” ucapnya.

Akselerasi yang dimaksud dengan menerbitkan aturan pelaksana atau turunan dari UU no.1/1970 seperti perpres atau peraturan menteri (permen).

Dengan begitu Zulmilar Yanri meminta Kemnaker bisa proaktif menjalankan penyusunan revisi UU no.1/1970.

Sebab, lembaga ini dianggap memiliki sumber daya manusia (SDM) dan anggaran yang cukup untuk penyusunan uu.

“Kemnaker sudah memiliki pokja (kelompok kerja) yang di dalamnya sudah terdapat praktisi K3,” ucapnya.

Ketua Forum Quality, Health, Safety, dan Environment (QHSE) BUMN Konstruksi, Subkhan mengemukakan urgensi revisi UU no.1/1970 dilatarbelakangi kondisi global.

Hal yang dimaksud seperti perkembangan digitalisasi, penggunaan mesin dan teknologi, dan pemakaian tenaga nuklir.

“Usulan revisi Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 mengacu tiga hal yaitu perubahan untuk tujuan beyond K3 yang disingkat SMS,” ujarnya.

Maksudnya, S adalah Sustainaibility yaitu peran K3 tidak hanya lost control prevention dan Health Safety Security and Enviroment (HSSE) hazard.

“Namun juga sudah menjadi instrumen penting untuk keberlangsungan bisnis, syarat investasi dan kepercayaan ekosistem usaha domestik dan pasar global,” ujarnya.

Untuk M, ujar Subkhan, adalah modernisasi K3 yakni K3 harus lebih lincah, adaptif terhadap tantangan global, dan resieliensi sekarang.

“K3 harus dikelola berdampingan dengan digitalisasi, bahkan harus bisa mengoptimalkan kemajuan TI (teknologi informasi) dalam penerapan K3, peralatan dan metode implementasi k3 saat ini juga disesuaikan dengan digitalisasi, pelatihan dan sertifikasi pengembangan kompetensi,” ucapnya.

Sementara itu S adalah standarisasi K3, yaitu bagaimana aturan K3 sektoral dipayungi dengan standar yg sama. Standarisasi yang dimaksud adalah biaya K3 yang terkuantifikasi dalam bentuk persentase biaya atau range.

“Kemudian, standar kompetensi, carier path petugas K3 dan safety leadership K3 ” tuturnya.

Selanjutnya, standar pendidikan K3 dan tata kelola K3 yang sudah harus terintegrasi dengan semua proses bisnis. (adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button