Jakarta, isafetymagazine.com – World Safety Organization (WSO) Indonesia menyesalkan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih belum berjalan secara optimal di Indonesia sampai sekarang.
Padahal, pemerintah sudah berjanji mencanangkan budaya K3 sejak 2015, tapi hingga kini belum terwujud.
“Sebanyak 90% kecelakaan kerja itu disebabkan oleh manusia. Setiap kecelakaan itu penyebabnya utamanya adalah manusia. Adanya kecelakaan kerja berhubungan antara tempat kerja dan pekerja. Di sinilah kita memerlukan safety leadership,” kata Chairman WSO Indonesia, Soehatman Ramli.
Pernyataan ini disampaikannya dalam ‘Talkshow: Safety Leadership’ yang digelar WSO Indonesia dan Isafety Magazine dalam ‘Safe Work Indonesia 2024’ di Jakarta pada Jumat (27/9/2024).
Soehatman Ramli menilai safety leadership masih kurang dimplementasikan para pemimpin di Tanah Air berupa perilaku aman dalam bekerja.
Mestinya, pemimpin-pemimpin ini memberikan teladan bagi para pekerja sesuai slogan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro yakni ‘Tut Wuri Handayani’.
“Sudah saya sering saya sampaikan pentingnya leadership dalam membangun Budaya K3. Tujuan K3 adalah untuk menciptakan tempat kerja yang aman,” ujarnya.
Sejumlah tantangan penerapan budaya keselamatan dihadapi pemimpin-pemimpin sekarang diingatkan Soehatman Ramli lantaran kondisi dunia terus berubah.
Hal ini terjadi akibat dampak teknologi yang berpotensi kenaikan bahaya perilaku kerja.
“Saat ini menjadi tantangan bagi generasi milenial dan generasi Z,” tuturnya.
Siapapun orangnya seperti pengendara motor, supir mobil, pekerja las, atau orang yang menjalankan pabrik dapat menjadi pemicu kecelakaan.
Jadi, semua orang perlu membangun safety culture.
“Kami di WSO itu concern bagaimana membangun budaya. Disinilah membutuhkan safety leadership,” ujarnya.
Untuk membangun budaya K3 dilakukan dengan tiga pilar tersebut yakni pertama, tempat kerja dan pekerja yang terhubung dengan sistem kerjanya. Kedua, sistem manajemen safety (keselamatan) dan ketiga, manusia (pekerja).
Pada saat yang bersamaan penerapan ini memunculkan peluang-peluang bisnis dengan menciptakan peralatan keselamatan mendukung tempat kerja aman untuk pekerjanya.
Kini sejumlah pihak telah mengembangkan produk berteknologi baru yang mendukung penerapan K3.
“Seperti hari ini saya berkeliling di pameran Safe Work Indonesia 2024, saya melihat berbagai peralatan untuk ventilasi, identifikasi gas berbahaya, beragam inovasi teknologi yang dapat meningkatkan perlindungan pekerja, hal ini masuk pilar pertama K3,” ucapnya.
Pilar Keselamatan Kerja
Dengan begitu Soehatman Ramli menilai penetapan K3 tidak berjalan secara optimal tanpa pembangunan fondasinya yakni safety culture.
Ketiga pilar tersebut mesti dijalankan secara satu sama lain.
“Banyak penerapan K3 gagal karena tidak memahami hal ini. Kalau sudah membudaya maka seseorang itu akan memakai seat belt di mobil dan mengatur kecepatan kendaraan dan sebagainya karena K3 sudah menjadi budaya,” kata dia.
Soehatman Ramli mencontohkan bagaimana Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Kuan Yew mendidik warganya berperilaku budaya K3 secara keras.
Pasalnya, negara ini tidak memiliki sumber daya alam (SDA) yang dipunyainya hanya sumber daya manusia (SDM) saja.
“Warga Singapura ditempa untuk membangun manusia memiliki budaya disiplin tinggi membangun dengan sistem yang merupakan penerapan pilar kedua K3,” ujarnya.
Keadaan berbeda di Indonesia, ucap Soehatman Ramli, tidak semua orang mau menjalankannya secara baik.
Contohnya, banyak orang masih tidak memakai helm sebagai perilaku tidak aman, bahkan melanggar Undang-Undang Lalu Lintas (UU Lantas).
“Kalau ada polisi baru disiplin, tetapi kalau tidak ada polisi kembali lagi pada perilaku tidak aman atau melanggar. Ada polisi, bisa ‘damai ah’. Hal-hal seperti ini yang membuat budaya kita hancur,” tuturnya.
Padahal, orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia saat berada di Singapura berperilaku disiplin.
Namun, ketika sudah sampai di Tanah Air kembali ke sikap semula yang tidak disiplin.
“Kalau orang Singapura berada di Batam bisa saja mereka pikir dan berperilaku ‘bebas’, artinya budaya itu bisa dibentuk,” ucapnya.
Budaya Antri
Salahsatu pemimpin yang dianggap Soehatman Ramli berhasil menerapkan tiga pilar K3 adalah Ignatius Jonan saat menjabat direktur utama (dirut) PT Kereta Api Indonesia/KAI (Persero).
Langkah ini terlihat dari bagaimana dia membangun kedisiplinan bagi penumpang saat menggunakan kereta api.
“Sekarang terlihat warga masuk ke stasiun kereta api mau antre dan sebagainya. Menjadi perilaku disiplin. Itulah kunci membangun budaya,” ujarnya.
Safety Leadership Abstrak
Pada kesempatan yang sama Vice Chairman WSO Indonesia, Subhkan, mengamini pernyataan Soehatman Ramli bahwa penerapan safety leadership dinilai penting untuk membangun K3.
Mengelola penerapan K3 juga dianggap tidak hanya sekedar menggunakan alat pelindung dii (APD), dan mencegah kecelakaan.
“Lebih jauh dari itu menjalankan K3 itu merupakan langkah penting bagi keberlangsungan usaha,” ucapnya.
Subhkan mengakui penerapan safety leadership hanya bisa dirasakan sebagian orang saja yang didasarkan dia membicarakan suatu perusahaan dinilai telah menerapkannya secara baik.
“Tapi sulit untuk dirasakan oleh pekerja dan stakeholder-nya. Leadership itu barang yang abstrak tapi konkrit,” ujarnya.
Kebijakan penerapan K3 mencakup berbagai hal seperti standard operating procedure (SOP), sistem manajemen, integrasi berbagai elemen, struktur manajemen, dan ketesediaan dana.
Seorang pemimpin mesti melihat penerapan K3 sebagai kebutuhan dan investasi, tidak selalu se bagai pemenuhan kewajiban saja.
“Tidak bisa hanya karena syarat sebuah tender atau dilakukan kalau ada pemeriksaan ataupun re-annual sertifikat-sertifikat agar bisa lolos,” ucapnya.
Beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari penerapan K3 adalah sebuah maskapai penerbangan nasional mengalami kebangkrutan pada 2006.
Kondisi ini terjadi setelah pesawatnya jatuh di Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar).
Kemudian, sebuah perusahaan tambang mengalai nasib yang sama sesudah menghadapi isu lingkungan hidup berupa pecemaran perairam
“Adanya kecelakaan kerja juga berpengaruh pada key person yang bekerja di lapangan,” ujarnya.
Subhkan mengemukakan tidak satupun perusahaan kebal terhadap kecelakaan kerja lantaran ini bisa terjadi di mana saja. Kejadian ini berlangsung saat setiap pihak tidak konsisten melakukan safety.
“Safety itu bukan tujuan tetapi journey,” ucapnya.
Suatu istilah yang dipinjam dari Soehatman Ramli oleh Subhkan adalah kecelakaan kerja itu seperti ‘Perang Gerilya’ bisa terjadi sewaktu-waktu.
“Kita tidak bisa memastikan 100 persen atau H plus satu pasti selamat, yang bisa kita lakukan adalah menjaga agar hal itu tidak terjadi,” tuturnya.
Dengan demikian, setiap orang adalah safety leader yang minimal bagi diri sendiri, sehingga setiap perilaku yang dilakukannya menjadi contoh bagi orang-orang sekitar.
“Paling penting sebagai leader adalah memastikan elemen safety itu terintegrasi safety based behavior dan risk assessment yang melekat pada seluruh insan yang terlibat dalam operasional atau produksi organisasi atau perusahaan,” tuturnya. (Aryani Indrastati)