Banjarmasin, isafetymagazine.com – Perwakilan Masyarakat Adat Jahab, Halif Sardi mengungkapkan banyak perusahaan di Kutai Kartanegara (Kukar) belum menerapkan tata kelola Corporate Social Responsibility (CSR).
Selain itu Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), serta Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) secara transparan dan berkelanjutan.
Kalaupun mereka menerapkannya hanya sebatas window dressing (simbolis) atau belum berdampak nyata bagi masyarakat sekitar, tidak terukur, serta minim pelaporan tata kelola.
“Seharusnya tata kelola CSR, TJSL, dan PPM yang baik mengikuti arahan pemerintah dengan mengacu pada prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) serta SDGs (Sustainable Development Goals),” ujarnya pada Rabu (26/11/2025).
Pengelolaan CSR harus berpengaruh langsung, terukur, dan berkelanjutan agar mampu memitigasi konflik antara pelaku usaha dan masyarakat.
Program ini juga perlu menyentuh berbagai sektor seperti peningkatan ekonomi, kesejahteraan sosial, pelestarian budaya, dan perlindungan lingkungan, khususnya dalam tata kelola pertanian ramah lingkungan.
“CSR, TJSL, dan PPM seharusnya menjadi solusi, namun praktik window dressing upaya mempercantik, justru banyak konflik di masyarakat yang tidak sampai ke pemerintah,” tuturnya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Karya Muda Mahakam (AKMM), Aspin Anwar menambahkan pengawasan dan perencanaan perlu dilakukan dalam penyaluran dana CSR.
Setiap perusahaan wajib menyiapkan perencanaan yang matang, implementasi yang tepat, dan pengawasan yang transparan.
“Tujuan dan sasaran CSR harus jelas dan sejalan dengan visi-misi perusahaan. Perusahaan juga harus mengidentifikasi semua stakeholder yang terlibat, mulai dari karyawan hingga masyarakat,” ucapnya.
Perusahaan wajib mengalokasikan anggaran yang memadai dan membentuk tim CSR khusus agar pelaksanaan program berjalan efektif.
Tim ini harus berpengalaman di bidang sosial dan memahami delapan pilar tanggung jawab sosial, seperti ekonomi, pendidikan, dan lingkungan.
Aspin Anwar mengemukakan di Kukar terdapat sekitar seratus perusahaan batu bara yang beroperasi, tapi penyaluran dana CSR belum maksimal dan belum dirasakan oleh masyarakat setempat.
“Sementara dari sisi perusahaan, kita perlu memastikan arah dan sasaran program mereka sesuai dengan data dan blueprint yang ada,” ujarnya.
Pelaksanaan CSR memiliki dasar hukum yakni Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 tentang TJSL.
“Perusahaan harus menjalankannya dan melaporkan hasilnya dalam laporan tahunan,” ujarnya.
Sementara itu asyarakat didorong menyampaikan aspirasi melalui anggota dewan, agar fungsi legislatif bisa memfasilitasi rapat dengar pendapat terkait transparansi dana CSR.
“Anggota dewan wajib memfasilitasi karena mereka dipilih oleh rakyat. Jangan sampai program CSR yang seharusnya untuk masyarakat justru dinikmati pihak tertentu,” tuturnya. (adm)
Sumber: Kaltim Media














