Jakarta, Isafetymagazine.com – Indonesia telah mengalami evolusi penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sejak 1970 hingga 2000. Kondisi ini mendorong perkembangan pelaksanaan K3.
“Pada 1970 penerapan K3 tidak dianggap banyak orang dan dipandang sebelah mata,” kata WSO Representative Indonesia, Soehatman Ramli dalam ‘Seminar Ketenagakerjaan bertema Optimalisasi Regulasi K3 di Era New Normal Untuk Mewujudkan Indonesia Berbudaya K3’ di Jakarta pada Senin (16/11/2020).
Penerapan K3 pada 2020 di tengah pandemi Covid-19 membawa hikmah bagi Indonesia. Kondisi ini juga mesti dimaknai sebagai momentum aktualisasi K3 di dalam semua sektor kehidupan.
“Semua pakai masker, hal ini berarti menerapkan K3,” ujarnya.
Soehatman beranggapan penerapan K3 saat pandemi Covid-19 merupakan ‘Revolusi K3’. Karena, waktu ini bisa menjadi penunjang percepatan penerapan K3. “Bagaimana kesiapan kita memasukinya dapat dilihat dari pelaksanaan Undang-Undang K3,” ujarnya.
Apa saja tantangan penerapan K3 dapat diketahui dari buku berjudul ‘K3 Nasional 2018’. Hal ini berisi antara lain persoalan koordinasi antarsektor dan masalah budaya keselamatan kerja.
Budaya keselamatan kerja belum berjalan baik terlihat dari berbagai kejadian di sini. Contohnya, sebanyak 52 orang meninggal akibat keberadaan pabrik petasan di Kosambi, Tangerang.
Kemudian, Pabrik Mandom di Bekasi menewaskan 20 orang. Selanjutnya, kebakaran pabrik korek api merenggut nyawa 30 orang.
Padahal, budaya keselamatan juga sebagai kunci menghadapi pandemi Covid-19. Perilaku tersebut juga berguna saat menghadapi bencana alam.
WSO pernah membahas pelaksanaan K3 di berbagai negara termasuk Amerika Serikat (AS). Dari hal ini diakui Indonesia tidak tertinggal dalam penerapannya.
“Isunya sama yaitu komitmen, hukum, dan budaya keselamatan,” papar Soehatman.
Perbandingan UU K3 Indonesia dengan negara-negara lain seperti AS adalah ketentuan ini belum pernah direvisi Indonesia sejak 1970. Padahal, UU ini di AS telah diamandemen beberapa kali.
“UU ini diamandemen untuk ditingkatkan sesai perkembangan lingkungan dan teknologi,” ucapnya.
Selain itu WSO menyelenggarakan diskusi lintas sektor dan lintas generasi di dalam negeri. Dari hal ini timbul ide revitalisasi UU No.1/1970. “Kita tidak mau merubah, karena setelah kita kaji sudah lengkap dalam uu ini,” tukasnya.
Dengan demikian UU No.1/1970, lanjut Soehatman, hanya perlu disempurnakan saja isinya, misalnya istilah keselamatan menjadi keselamatan kerja. Penerapan uu ini juga dinilai belum optimal.
“Banyak sektor-sektor yang belum menjalankan K3 dengan baik,” tandasnya.
Penguatan UU No. 1/1970 dapat dilakukan dengan peraturan lainnya. UU ini juga tinggal diimplementasikan saja. “Isu yang utama adalah antarsektor belum tertata dengan baik,” paparnya.
UU K3 fokus keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga masing-masing sektor sudah ada departemen teknis seperti pertambangan, konstruksi, dan transportasi,” urainya.
Namun, UU K3 belum diterapkan secara optimal di sektor jasa, sektor pendidikan, sektor rekreasi, dan sektor hiburan.
Pelaksanaan K3 terbagi atas empat golongan yakni perusahaan yang tidak menjalankan K3 dinamakan perusahaan hitam. Jika perusahaan itu sudah menjalankan K3, tapi masih terjadi kecelakaan, maka disebut perusahaan kuning.
Untuk perusahaan yang tidak menjalankan K3, tapi kecelakaan rendah, maka ini termasuk perusahaan merah. Tingkatan tertinggi adalah perusahaan berwarna hijau yank menjalankan K3 dengan kecelakaan rendah.
Menyinggung pengenaan sanksi berat atas pelanggaran K3, ucap Soehatman, belum tentu mendorong pelaksanaan K3 optimal. Namun, ini harus dibarengi dengan pemberian apresiasi atas penerapan K3.
“Ini belum jalan di dalam pelaksanaan K3,”tukasnya.
Negara-negara lain juga mengalami nasib serupa. Apabila pelaksanaan K3 dilakukan lantaran kewajiban saja, maka ini akan membebani perusahaan. “Ekonomi Inggris hancur akibat pelaksanaan K3 over dosis,” ujarnya. (adm)