Jakarta, isafetymagazine.com – Praktisi Environmental, Social, and Governance (ESG) di Indonesia menilai perusahaan tambang dan nikel di dalam negeri belum menjalankan praktik ESG sesuai standarnya.
Kondisi ini bisa merugikan masyarakat dan lingkungan.
“Emisi sebagian besar smelter nikel tercatat mencapai 58,6 ton CO₂ per ton nikel, jauh di atas emisi fasilitas yang sama milik BHP Nickel West, Australia, yang hanya 11 ton CO₂ per ton nikel,” kata Pengamat ESG, Al Ayubi di Jakarta pada pekan lalu.
Dengan begitu pemerintah didesak memperketat penerapan standar ESG di sektor mineral.
Apalagi, kasus tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya sempat timbul ke permukaan pada beberapa waktu yang lalu.
Hal lainnya adalah kasus pencemaran sumber air di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Kejadian ini akibat tambang nikel dan 93 kecelakaan kerja yang terjadi di industri smelter nikel sepanjang 2015-2023.
“Jika pemerintah menetapkan standar ESG yang ketat dan mengikat, maka perusahaan-perusahaan nikel akan terdorong untuk mengurangi dampak kerusakan,” ujarnya.
Standar yang dimaksud seperti pemberian insentif fiskal dan perizinan hanya diberikan kepada proyek yang memenuhi ambang batas ESG yang jelas.
Contohnya, penggunaan energi bersih, perlindungan hak masyarakat adat, keterlibatan komunitas lokal, dan rehabilitasi lingkungan.
Standar ESG, ucap Al Ayubi, juga harus menjamin distribusi manfaat yang adil dan mencegah konflik sosial di wilayah tambang.
“Bukan sekadar digunakan untuk melegitimasi proyek,” ucapnya.
Direktur Djokosoetono Research Center Universitas Indonesia (DRC UI), Patricia Rinwigati, menambahkan keseragaman dan penegakan standar ESG perlu diberlakukan bagi seluruh perusahaan.
Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang mengikat agar prinsip ESG bisa diterapkan perusahaan secara adil dan menyeluruh.
“Dalam penetapan standar ESG ini perlu ada koherensi atau integrasi antara hukum nasional dan standar internasional, serta harus fokus pada masyarakat terdampak,” ujarnya.
“Kemudian perlu juga dibangun sistem pengawasan dan pelaporan yang komprehensif, serta pemanfaat teknologi dalam pelacakannya.”
Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam standar ESG, ucap Community Outreach Coordinator untuk Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), Andre Barahamin, perlu diberlakukan bagi perusahaan.
Prinsip ini termasuk hak masyarakat untuk menolak proyek yang masuk ke wilayahnya.
“Jika perusahaan mematuhi standar ESG seperti IRMA, maka penerimaan pasar akan lebih besar, membaiknya reputasi di rantai pasok internasional, dan dapat menjadi perangkat mitigasi bagi perusahaan dalam upaya penghormatan dan perlindungan HAM masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak oleh aktivitas perusahaan tambang tersebut,” ujar Andre.
Permintaan pasar global terhadap praktik bisnis pertambangan yang bertanggung jawab terus meningkat, terutama untuk sumber mineral kritis.
Jadi, pemenuhan standar ESG menjadi tolok ukur komitmen perusahaan terhadap mitigasi risiko lingkungan, pelanggaran HAM, dan konflik sosial jangka panjang. (adm)
Sumber: Warta Ekonomi