Jakarta, isafetymagazine.com – Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University bidang Ergonomi Kehutanan, Efi Yuliati Yovi menilai pekerja kehutanan tingkat tapak mengalami berbagai tantangan yang mengancam kesehatan, keselamatan, produktivitas kerja, dan kenyamanan kerja.
Hal ini bisa ditangani dengan pendekatan ilmu ergonomi. Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji interaksi manusia, alat, dan sistem kerja.
Prinsip ergonomi untuk meningkatkan kualitas lingkungan kerja di sektor kehutanan.
Namun, pendekatan itu belum banyak diimplementasikan di kehutanan Indonesia, terutama pekerja di tingkat tapak.
“Pendekatan ergonomi yang komprehensif dapat mengurangi potensi gangguan ergonomi dan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), sambil meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja bagi para pekerja kehutanan, yang merupakan syarat penting dalam mencapai pengelolaan hutan yang lebih baik,” katanya.
Hal ini dikemukakan dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University secara daring belum lama ini.
Berbagai penyebab ergonomi dan K3 yang belum optimal diterapkan di sektor kehutanan Indonesia yaitu pertama, ergonomi masih dianggap sebagai cost center.
Padahal, berdasarkan risetnya, hanya dua persen saja anggaran yang dibutuhkan untuk perlindungan K3.
Angka itu jauh lebih kecil daripada biaya untuk menangani kecelakaan.
Kedua awareness perusahaan terhadap pekerja kehutanan di tingkat tapak masih kurang sampai sekarang.
“Di pertambangan dan energi itu mereka sudah menghitung (ergonomi). Jadi mereka tahu bahwa safety pekerja ini brand image suatu perusahaan. Di kehutanaan belum terbangun,” ujarnya.
Efi Yulianti Novi mengutarakan aspek pengetahuan K3 dan penggunaan alat pelindung diri (APD) masih rendah.
Pekerja juga tidak memerhatikan aspek tersebut karena bisa menyita waktu yang merugikan pendapatan mereka.
“Jadi penyebabnya adalah masih menganggap ergonomi dan K3 sebuah cost center, belum ada pengawasan yang baik, sistem pengupahan, dan tingkat pengetahuan pekerja. Semua itu seperti lingkaran setan. Jadi, kita harus memutus lingkaran tersebut agar masalah ini bisa terurai,” ujarnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) diminta memikirkan aspek safety pekerja kehutanan sampai tingkat tapak.
Langkah ini bisa dilakukan KLHK denga membuat satu direktorat khusus yang berkaitan dengan aspek ergonomi atau K3 seperti di kementerian lain.
“Saya rasa pengorganiasian, pengelolaan, dan pengaturan itu jadi mudah. Jadi kita bisa tahu persis apa yang terjadi dan apa yang perlu kita lakukan, karena kita tahu persis situasi di lapangan,” ujarnya.
Pemerintah juga harus menjamin bahwa pekerja kehutanan tingkat tapak adalah pekerja yang berkompeten.
Sejauh ini, belum ada skema kompetensi untuk tenaga kerja di tingkat tapak. (ipb/adm)