Depok, isafetymagazine.com – International Labor Organization (ILO) memperkirakan sekitar 2,2% dari total jam kerja akan hilang karena tekanan panas global pada 2030.
Heat stress (tekanan panas) terjadi saat pajanan panas yang diterima melebihi apa yang dapat ditoleransi oleh tubuh tanpa mengalami gangguan fisiologis.
“Dampak perubahan iklim meluas ke tempat kerja karena interaksi antara kesehatan personal, lingkungan kerja, dan aktivitas pekerjaan,” kata Guru Besar Tetap Ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Indonesia (UI), Doni Hikmat Ramdhan.
Hal ini disampaikannya dalam orasi ilmiah berjudul ‘Perubahan Iklim dan Tekanan Panas di Tempat Kerja: Dampak dan Pencegahannya’ di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Orasinya terkait pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Ilmu K3 FKM UI yang dipimpin langsung oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D pada hari yang sama.
Di negara beriklim tropis, termasuk Indonesia, banyak pekerja yang terpajan panas seperti pekerja di pertambangan, konstruksi, manufaktur, dan pertanian rentan terhadap bahaya panas, baik yang berasal dari matahari dan akibat aktivitas metabolic yang tinggi.
“Tekanan panas yang diterima individu merupakan akibat dari kombinasi panas metabolik akibat aktivitas fisik, panas dari lingkungan kerja, dan panas tubuh yang tersimpan akibat pakaian yang dikenakan,” ujarnya.
Doni Hikmat Ramdhan mengutarakan efek kesehatan akibat pajanan panas dapat berupa gangguan fungsi organ dan heat related illness atau gangguan terkait panas. Efek kesehatan tersebut dibedakan menjadi dua, yakni efek akut dan efek kronis.
Efek akut akibat suhu tubuh di atas temperatur normal sebesar 36,8 sampai 37,2 derajat celsius dan dehidrasi berbentuk gangguan seperti kram, kelelahan, pingsan dan stroke.
“Sementara itu, efek kesehatan kronik dapat muncul dalam bentuk penyakit ginjal kronik, penyakit kardiovaskuler, dan hipertensi,” ujarnya.
Untuk mengendalikan dan mengurangi tekanan panas, upaya modifikasi dapat dilakukan, antara lain pada produksi panas metabolik.
Kemudian, pertukaran panas tubuh dengan konveksi, pertukaran panas tubuh dengan radiasi, dan pertukaran panas tubuh dengan pengendalian evaporasi.
“Modifikasi faktor-faktor ini dapat dilakukan melalui pengendalian secara engineering, administratif, dan alat pelindung diri (APD),” ujarnya.
Pengendalian engineering adalah metode paling efektif untuk pengendalian bahaya panas di tempat kerja. Pengendalian dapat dilakukan dengan membatasi atau mengurangi aktivitas pekerja melalui sistem kerja otomatis.
Kemudian, menutup permukaan yang panas untuk mengurangi perpindahan panas melalui radiasi dan meningkatkan sistem ventilasi udara untuk perputaran panas di ruangan.
Selanjutnya, menyediakan kipas angin untuk mendinginkan tempat kerja; serta mengurangi kelembapan dengan menggunakan AC atau alat penurun kelembapan.
Metode lain untuk menghindari bahaya panas, ujar Doni Hikmat Ramdhan, adalah dengan aklimatisasi pada pekerja yang terpajan panas sekitar tujuh hingga 14 hari.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperpendek durasi pekerja terpajan panas dan memberi minuman kepada pekerja setiap 15 sampai 20 menit.
“Para pekerja juga dianjurkan menggunakan APD berupa pakaian pendingin, seperti water-cooled garments atau air-cooled garments yang memiliki sistem sirkulasi udara, cooling vest (rompi pendingin) dan wetted over garments atau pakaian berbahan dasar katun yang dibasahi,” ujarnya.
Penelitian terkait dampak tekanan panas bagi para pekerja ini merupakan satu dari penelitian lain yang dilakukan oleh Doni Hikmat Ramdhan.
Beberapa penelitiannya, antara lain The Health and Safety of Being Fishermen: A Systematic Review (2023); Determinants of Hypertension amongst Rice Farmers in West Java, Indonesia. (2022).
Selain itu Increase of Cardiometabolic Biomarkers among Vehicle Inspectors Exposed to PM0.25 and Compositions (2021). (adm)