Bencana alam, kerusakan lingkungan, kebakaran hutan, banjir dan pemanasan global merupakan issue lingkungan yang sering kita lihat, dengar dan baca saat ini.
Inisiatif dan upaya skala nasional dan global sudah banyak dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan ekosistem secara signifikan, mulai dari Clean Development Mechanism (CDM) dihasilkan dari “Protocol Kyoto” yang bertujuan membantu negara berkembang dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (greenhouse gas).
Montreal Protocol yang mengatur perlindungan lapisan ozone melalui pengaturan produksi dan penggunaan bahan bahan perusak ozone (ozone depleting), seperti CFCs (chlorofluorocarbons) dan HCFs (hydrochlorofluorocrbons).
Dalam skala nasional kita sering mendengarkan, tanah longsor, banjir, kebakaran hutan yang menjadi potret permasalahan lingkungan bangsa Indonesia.
Permasalahan Ekosistem atau lingkungan hidup saat ini tidak berasal dari keterbelakangan manusia (underdevelopment) tetapi dari keterlalumajuan manusia (overdevelopment).
Manusia gagal memahami ilmu pengetahuan atau teknologi sebagai alat untuk kesejahteraan mahkluk Tuhan.
Seyyed Hossein Nashr seorang filsuf Islam menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanya sebagai alat memenuhi keinginan egoisnya serta terjadi desakralisasi pengetahuan yaitu terjadinya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan aspek keagamaan, ilmu pengetahuan hanya didasarkan pada bukti empiris dan metode ilmiah yang bisa direplikasi.
Sehingga Ilmu pengetahuan akan berkembang bebas tanpa campur tangan nilai keagaamaan. Islam merupakan penghubung antara manusia dan ilmu pengetahuan sehingga nyata kebermanfaatanya dan keberadaanya.
Di dalam Islam hubungan manusia dan lingkunganya dijiwai oleh agama dimana ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dipisahkan.
Dalam Q.S. Al-Baqarah 29: Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke (penciptaan) langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Bagaimana realitas dilapangan saat ini? Alam lingkungan menjadi objek bukan lagi menjadi subjek yang seharusnya memiliki kesetaraan dengan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Prinsip demikian akan berdampak pada pola pikir individu yang lebih mementingkan kepentingan individu atau kelompok. Alam lingkungan menjadi sumber eksploitasi manusia untuk mengejar keuntungan duniawi semata.
Pemisahan antara teknologi dengan unsur keagamaan cenderung “meraup”sumberdaya alam untuk “profit oriented”.
Pembangunan yang tidak memiliki konsep “keberlanjutan” cenderung merusak ekologi sekitarnya.
Kerusakan alam tidak hanya menjadi tanggungjawab pribadi tetapi bersifat multisectoral dan “transnational” artinya peran pemerintah dan pihak pemegang kepentingan (stakeholder) serta antar bangsa di dunia mempunyai kewajiban dan kepentingan yang sama untuk melindungi alam.
Penulis sebagai praktisi lingkungan mempunyai tanggung jawab moral, peran aktif serta tanggungjawab sosial untuk menjaga lingkungan sekitar agar tidak tercemari dan menjadi keharusan untuk selalu memenuhi peraturan perundangan.
Tidak berhenti di tataran konsep administratif yaitu peraturan perundangan tetapi harus dipastikan secara rill bahwa tidak mencemari lingkungan karena kondisi sesuai peraturan perundangan belum tentu tidak mencemari lingkungan tetapi tidak mencemari lingkungan pasti dijamin sesuai dengan peraturan perundangan atau standard tertentu.
Tentunya hal ini didukung oleh komitmen dan dukungan banyak pihak terkait (perusahaan, instansi, masyarakat) yang sangat kuat.
Dalam konsep “humanisme modern” Sutan Takdir Alisyahbana, kecenderungan sikap manusia adalah “rasional”, kritis” dan “bebas”, manusia akan mempertimbangkan sesuatu pemikiran atau inisiatifnya berdasarkan rasio serta pemikiran kritisnya dan cenderung memaklumi “kebebasan”.
Hal ini terjadi di semua aspek kehidupan termasuk bagaimana “memperlakukan” alam dengan bijak sehingga terjadi keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan alam atau sebaliknya yaitu tidak bijak memperlakukan alam sehingga terjadi kerusakan alam.
Konteks modernisasi adalah suatu peralihan dari sistem tradisional menuju ke tatanan modern. Semua pihak harus menyadari adanya dampak dari modernisasi sehingga kualitas lingkungan hidup tidak merosot akibat dari alih alih program modernisasi tersebut.
Dua kodrat manusia, yaitu pertama, sebagai mahkluk alam, tunduk pada hukum alam yang menguasasi kehidupan lahir dan batin dan kedua, makhluk budi, dikuasasi oleh hukum budi dan sebagai pembeda antara manusia dan makhluk lain.
Baik sebagai makhluk alam atau makhluk budi (berakal), peranan manusia sangat menentukan dalam upaya kelestarian ekosistem. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang sempurna, manusia dikarunia panca indra yang luar biasa.
Manusia bisa berkomunikasi dengan alam melalui panca indra yang dimilikinya; merasakan, mendeteksi dan melihat apa yang sedang dialami oleh alam.
Memberlakukan Alam sebagai Teofani adalah melihat alam sebagai cerminan kehadiran Tuhan dalam alam dan bentuk bentuknya artinya Alam dan Manusia merupakan manifestasi kehadiran Tuhan.
Gunung, Sungai, Laut dan bentang alam di muka bumi merupakan ciptaan Tuhan yang merupakan manisfestasi kehadiran Tuhan.
Krisis Ekosistem terjadi apabila terdapat penolakan keberadaan Maha Pencipta sebagai pelindung dan pemelihara alam semesta.
Manusia cenderung berdasarkan sifat egoisnya memperlakukan alam tanpa adanya rasa kekhawatiran dari dampak yang ditimbulkannya dan jika sudah terjadi bencana alam maka akan saling menyalahkan antar manusia, antar institusi atau antar pihak.
Sebagai praktisi bidang lingkungan hidup, berikut beberapa point usulan yang dapat saya berikan sebagai refleksi dari background tulisan saya diatas, yaitu:
1.Manusia harus memandang alam sebagai satu kesatuan diri sendiri tanpa bisa dipisahkan dari kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan.
2, Alam dan Manusia diciptakan Tuhan sebagai “subjek” yang saling mendukung bukan objek yang saling mengekploitasi.
3.Ilmu Pengetahuan (science) dan Agama merupakan satu kesatuan dan tidak bisa saling meninggalkan sehingga keberadaanya dapat bermanfaat bagi manusia dan pada akhirnya alam tetap terjaga.
4.Keterlibatan berbagai pihak dalam upaya menjaga kelestarian bentang alam melalui komunikasi yang membangun “kesadaran ekosistem” (ecosystem awareness).
5.Tataran program pelestarian lingkungan tidak sebatas pada tataran adminitratif (legalitas) tetapi lebih kepada kegiatan riil dan nyata pencegahan pencemaran dan perlindungan lingkungan.
Semoga tulisan ini dapat memberikan kebermanfaatan bagi pembaca sebagai gambaran pemikiran untuk diskusi dan penelitian selanjutnya dalam upaya menjaga keharmonisan alam dan manusia.
Praktisi Keselamatan Kerja, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (K3L), Arief Zulkarnain
Saat ini yang bersangkutan sedang mengikuti pendidikan Program Doktoral (S3) Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid (Usahid) Jakarta