Environment

Investasi ESG Sedang Lesu, Dampak Ketidakpastian Geopolitik dan Penolakan Politik di AS

Perusahaan di Asia termasuk Indonesia didorong berinvestasi dalam kemampuan internal untuk menghasilkan data yang kredibel

Jakarta – Investasi Environment, Social, and Government (ESG) mengalami tekanan global sekarang akibat ketidakpastian geopolitik dan penolakan politik di Amerika Serikat (AS).

Selain itu regulasi yang makin ketat di Uni Eropa membuat investor global mulai menarik diri dari dana berkelanjutan.

Analis Senior Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) South Asia, Shantanu Srivastava mengatakan pelambatan ini bukan akhir dari investasi berkelanjutan, melainkan koreksi pasar yang sehat.

β€œYang perlu dipahami adalah ESG merupakan kategori luas. Ketika perhatian investor mulai bergeser, bukan berarti mereka meninggalkan prinsip keberlanjutan, tetapi fokusnya lebih tajam khususnya pada risiko dan peluang terkait iklim,” katanya dalam laman IEEFA pada Rabu (14/5/2025).

Dana ESG global mengalami penarikan dana bersih (net outflows) sebesar US$8,6 miliar pada kuartal pertama 2025.

Investor Eropa merupakan pionir investasi berkelanjutan menarik dana senilai US$1,2 miliar.

Risiko iklim pertimbangan utama bagi investor jangka panjang, seperti bencana alam, risiko transisi dapat berdampak signifikan terhadap nilai portofolio global.

β€œArtinya, investor yang mengabaikan isu iklim dalam perhitungan risiko akan merugi dalam jangka panjang,” ujarnya.

Label ESG mengalami penolakan politik atau kekeliruan seperti greenwashing dan nilai ekonomi dari investasi iklim, tapi ini tetap kuat.

Menurut investor keputusan investasi sangat bergantung pada kualitas data yang disajikan perusahaan.

Shantanu Srivastava menekankan pelaporan risiko iklim bukan sekadar kepatuhan regulasi, tetapi alat penting untuk mengarahkan alokasi modal.

β€œInvestor membutuhkan informasi yang konkret, berapa besar risiko terhadap pendapatan atau aset jika terjadi bencana iklim, atau berapa besar potensi keuntungan dari strategi rendah karbon,” ujarnya.

Perusahaan di Asia termasuk Indonesia didorong berinvestasi dalam kemampuan internal untuk menghasilkan data yang kredibel seperti pemodelan skenario iklim, analisis spasial risiko, proyeksi emisi, dan identifikasi strategi transisi.

β€œPerusahaan yang mulai lebih awal dalam membangun kapabilitas ini akan berada di posisi unggul untuk menarik investor jangka panjang yang mencari ketahanan dan nilai dalam jangka waktu yang lebih luas,” ujarnya.

Saat ini iklim investasi ESG terlihat lesu, tapi arah jangka panjang tetap jelas, yakni risiko iklim adalah risiko keuangan, dan perusahaan yang mampu mengelolanya dengan transparan akan memetik manfaatnya. (adm)

Sumber: bisnis.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button