Jakarta, isafetymagazine.com – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengaku berbagai tantangan besar dihadapi perusahaan-perusahaan mengimplementasikan Environmental, Social, and Governance (ESG) di Indonesia
Salahsatu hal yang dimaksud seperti aturan ESG untuk perusahaan-perusahaan belum lengkap di Tanah Air.
“Jika kita pisahkan masing-masing elemen ESG, sebenarnya sudah ada aturan yang terpisah di setiap kementerian. Namun, jika ditanya mengenai aturan paket ESG yang komprehensif, sampai sekarang belum ada,” kata Sekretaris Umum (Sekum) APNI, Meidy Katrin Lengkey.
Pernyataan ini disampaikannya dalam ‘Diskusi Terpumpun bertajuk Menuju Rantai Pasok Nikel yang Lebih Bertanggung Jawab untukMendukung Transisi Energi Indonesia’ di Jakarta pada Rabu (12/2/2025).
Dengan begitu standar ESG secara terpadu belum diterapkan pemerintah. Padahal, aturan pertambangan dan corporate social responsibility (CSR).
Kondisi ini berakibat perusahaan-perusahaan kesulitan menjalankan operasionalnya lantaran belum diberikan insentif oleh pemerintah atas pelaksanaan ESG.
“Harga nikel berbasis ESG dan non-ESG masih sama. Jadi, bagi pengusaha, lebih menguntungkan untuk memilih yang biaya produksinya lebih rendah,” ucapnya.
Meidy Katrin Lengkey meneruskan salah satu masalah ini adalah perbedaan karakteristik proses penambangan nikel di Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia seperti Eropa.
“Saya mempertanyakan apakah lembaga-lembaga internasional yang merumuskan metodologi ESG sudah mempertimbangkan kondisi lokal,” ujarnya.
“Indonesia memiliki 17 ribu pulau dan emisi yang dihasilkan oleh industri tidak bisa hanya dilihat dari jumlah emisi langsung dari pabrik, tetapi harus mempertimbangkan juga emisi dari alam kita, seperti laut dan hutan.”
Apalagi, perhitungan karbon emisi dari produksi setiap satu ton belum terdapat di Indonesia. Padahal, negara ini berpotensi besar menguasai pasar nikel global.
“Indonesia saat ini menguasai 63 persen dari total produksi nikel dunia pada 2023, dan kita adalah eksportir utama nikel global. Ini memberi kita kekuatan tawar yang besar,” ujarnya.
Selain ini hampir sebanyak 55% produksi nikel primer dan 88% nikel intermediate dunia dikuasai Indonesia.
Meidy Katrin Lengkey melanjutkan Indonesia juga perlu mengembangkan metodologi ESG sesuai kondisi lokal.
Langkah ini guna memenuhi standar pasar global.
“Kami sudah beberapa kali bertemu dengan perusahaan besar seperti Tesla dan Mercedes-Benz,” ujarnya.
“Mereka ingin standar ESG yang sesuai dengan kondisi Indonesia, bukan hanya meniru standar yang ada di Eropa atau Amerika.”
Dengan begitu APNI menunggu aturan termasuk metodologi ESG dari pemerintah. Namun, organisasi ini sudah menyiapkan metodologi ESG. (mni/adm)