Jakarta, isafetymagazine.com – Riset Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute menunjukkan kiprah Environmental, Social, and Governance (ESG) belum berdampak bagi kinerja keuangan perusahaan seperti keuntungan. Jadi, kinerja keuangan perusahaan lebih dipengaruhi oleh ukuran organisasi tersebut.
βIni memperkuat temuan sebelumnya pada 2011 bahwa perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang besar mampu memiliki kinerja keuangan lebih baik. Sementara ESG disclosure tidak memiliki signifikansi hasil terhadap return on asset (ROA),β kata Peneliti Kelompok Spesialis Riset dan Widyaiswara OJK Institute, Sulistyoningsih secara daring pada Senin (26/5/2025).
Padahal, prinsip ESG telah diterapkan semakin banyak perusahaan ke dalam carbon accounting (sistem akutansi perusahaan) dan pelaporan secara transparan ke publik. Langkah ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan bisnis perusahaan yang berkelanjutan.
Transparansi pelaporannya juga diharapkan dapat menciptakan kepercayaan di masyarakat dan mendukung pendapatan bisnis perusahaan.
Laporan ekonomi keberlanjutan belum berdampak bagi profitabilitas tergambar pada 26 dari 36 emiten di sektor intensif karbon seperti industri material, energi, dan utilitas mengalami beban operasional dan biaya lingkungan yang tinggi.
Sementara ini perusahaan berukuran bisnis lebih besar cenderung memiliki kapasitas yang besar dalam menerapkan praktik ESG secara strategis dan terukur.
βMeskipun ESG disclosure penting secara reputasi, dampak finansialnya terhadap profitabilitas masih terbatas terutama di sektor-sektor industri dengan emisi tinggi,β tuturnya.
Walaupun demikian, transparansi laporan keuangan yang berisi informasi keberlanjutan, termasuk emisi karbon, cenderung dihargai lebih tinggi oleh para investor di pasar obligasi. Jadi, pelaporan ini berpengaruh terhadap harga obligasi
Sulistyoningsih meneruskan hal itu sejalan dengan temuan riset internasional pada 2019 dan 2020 yang mengungkapkan tata kelola keberlanjutan dan pelaporan ESG mampu memperkuat persepsi reputasi jangka panjang perusahaan di mata investor.
βDengan demikian, transparansi ESG lebih berpengaruh terhadap persepsi pasar dibandingkan dampaknya secara langsung bagi profitabilitas perusahaan,β tuturnya.
Jika praktik carbon accounting di Indonesia masih sangat bervariasi, maka unit karbon yang dibeli oleh perusahaan dicatat sebagai aset yang tak berwujud atau persediaan. Jadi, kondisi itu bergantung pada tujuan transaksi dan strategi masing-masing perusahaan.
Dengan begitu standar baku carbon accounting belum diterapkan pada tingkat nasional dan sejalan dengan keberagaman praktik pencatatan yang turut ditemukan dalam berbagai standar dan literatur internasional.
Sulistyoningsih mengungkapkan dua rekomendasi utama disarankan OJK Institute yakni penguatan kerangka kebijakan dan regulasi terkait pelaporan keberlanjutan, termasuk aspek carbon accounting.
βTanpa adanya standar pencatatan yang seragam dan akuntabel, sulit bagi perusahaan untuk membangun transparansi serta bagi investor untuk mengevaluasi kinerja keberlanjutan secara objektif,β tuturnya.
Penelitian kelanjutan juga sangat dibutuhkan untuk menggali lebih dalam faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan carbon accounting di Indonesia. Jadi, penelitian ini bisa diarahkan pada variasi antar sektor industri dan konteks kelembagaan yang mempengaruhi kualitas pelaporan ESG.
βDan perlu ditelusuri lebih lanjut bagaimana pengungkapan karbon berdampak bukan hanya pada kinerja keuangan seperti profitabilitas, tapi juga terhadap dimensi non-keuangan seperti reputasi pasar, kepercayaan investor, dan nilai perusahaan secara keseluruhan,β ucapnya. (adm)
Sumber: Infobank News