Jakarta, isafetymagazine.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berharap masyarakat tidak mempersoalkan mandatory spending dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang bisa menghapuskan alokasi anggaran kesehatan 5%-10% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Karena, output (program) kesehatan) dinilai lebih penting dari sekedar input (pengalokasian) anggaran kesehatan secara langsung dalam APBN.
“Fokusnya jangan ke spending, fokusnya harus ke program, ke hasilnya. Jangan ke input, tapi ke output, itu yang ingin kita didik ke masyarakat,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin usai pengesahan RUU Kesehatan oleh DPR di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (11/7/2023).
Dengan begitu anggaran kesehatan pemerintah ke depan disusun berdasarkan program kesehatan atau komitmen belanja kesehatan pemerintah. Jadi, anggaran ini tidak dialokasikan secara tetap sebesar 5%-10% dari APBN.
Budi Gunadi Sadikin mengutarakan besaran pengeluaran biaya kesehatan di suatu negara tidak berdampak sama bagi tingkat kesehatan yang bisa dicapainya.
Contohnya, warga negara di Amerika Serikat (AS) mengeluarkan biaya kesehatan besar supaya dapat mencapai usia hidup di atas 80 tahun. Selama ini rata-rata usia hidup warga di sana telah mencapai 80 tahun.
“Negara paling besar spending-nya tuh Amerika. Kenapa orang spend buat kesehatan? Ingin sehat, kenapa ingin sehat?” ujarnya.
Hal ini berbeda dengan warga negara di tiga negara Asia yakni Jepang, Korea Selatan (Korsel), Singapura yang mengalokasikan biaya kesehatan lebih kecil ketimbang AS. Walaupun, usia hidup warga di tiga negara tersebut mencapai rata-rata 80 tahun.
“Apa yang kita pelajari dari situ? Satu, besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome (dampak/manfaat). “Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya makin baik,” tutur Budi Gunadi Sadikin.
Alasan lain dari penghapusan mandatory spending oleh pemerintah dalam UU Kesehatan, ujar Budi Gunadi Sadikin, sesuai pendapat seorang ahli bahwa selama ini pengeluaran biaya kesehatan di Tanah Air sangat tidak transparan.
Contohnya, biaya sunat di Puskesmas dan Rumah Sakit (RS) tidak jelas besarannya
“Dia disunat di RS Vertikal Kemenkes berapa kali, kita enggak bisa jawab. Jadi berbeda dengan banyak industri lain, sektor lain, di kesehatan tidak begitu. Akibatnya terjadi seperti tadi, orang yang spend US$10.000, outcome-nya sama dengan yang spend US$2.000,” ujarnya.
Langgar Deklarasi WHO
Sebelumnya, Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) menganggap penghapusan mandatory spending dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang disahkan DPR melanggar Abuja Declaration World Health Organization (WHO).
Jadi, gerakan ini melayangkan petisi pengesahannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
“Hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MP RI X/MPR/2001,” kata Perwakilan FGBLP, Laila Nuranna Soedirman.
Dengan penghapusan mandatory spending dalam RUU Kesehatan, maka besaran anggaran kesehatan tidak bisa dipatok sebesar 5%-10% dari APBN.
Pemerintah menilai penghapusan ini bertujuan agar mandatory spending diatur sesuai komitmen belanja anggarannya bukan alokasi dari APBN. Jadi, program strategis tertentu di sektor kesehatan ditargetkan bisa berjalan maksimal.
Ketua Umum (Ketum) Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Mohammad Adib Khumaidi, menambahkan penghapusan mandatory spending minimal sebesar 5% akan membebani biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat semakin besar.
Apalagi, peningkatan kualitas kesehatan tidak bisa diharapkan kepada program yang dilakukan pemerintah daerah (pemda). Pasalnya, pelaksanaan ini tergantung komitmen pemda.
“Harus ada kepastian hukum untuk memenuhi keadilan masyarakat,” ujarnya. (lip/cnc/adm)