Event HSE

Implementasi K3 Dinilai Masih Sebatas Papan Pengumuman

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim, Dwi Ken Hendrawanto mengamini penerapan K3 adalah investasi.

Surabaya, isafetymagazine.com – Tantangan menciptakan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan kerja bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Setidaknya membutuhkan waktu, strategi jitu, dan cara komunikasi yang sesuai kepada pekerja yang saat ini rata-rata didominasi merupakan generasi milenial.

Wakil Dewan K3 Provinsi (DK3P) Jawa Timur (Jatim), Edi Priyanto mengakui menciptakan budaya K3 tidak mudah. Langkah ini membutuhkan effort, energi, dan waktu yang tidak singkat.

Apalagi, generasi saat ini jauh lebih kritis dibanding generasi sebelumnya.

“Bicara K3 sebenarnya bukanlah hal yang asing, bahkan semua orang tahu. Mau selamat atau celaka, itu menjadi pilihan setiap pekerja, mereka sudah tahu apa yang yang harus diambil, contohnya berperilaku selamat agar tetap selamat dalam bekerja, demikian juga mereka tahu perilaku yang menyebabkan celaka apabila bertindak sembrono, ceroboh dan acuh atas ketentuan K3,” katanya dalam Dialog K3 di salah satu studio televisi swasta pada Senin (8/1/2024) petang.

Namun, dalam kenyataannya ternyata masih banyak dijumpai di tempat kerja perilaku-perilaku pekerja melakukan tindakan berbahaya yang dapat menyebabkan celaka.

“Salah satunya mereka masih kurang mendapatkan pemahaman tentang pentingnya perilaku selamat untuk keselamatan individunya,” ujarnya.

Beberapa aspek yang menunjang penerapan K3, ujar Edi Priyanto, hanya sekedar dianggap sebagai papan pengumuman. Jadi, implementasi ini belum sejalan karena hanya berjalan parsial dan belum dilakukan secara terintegrasi.

“Hal ini dibutuhkan komunikasi dua arah, di mana pengusaha memberikan pemahaman seutuhnya kenapa (why) harus melaksanakan K3 kepada pekerja, bukan sekedar memberikan pasal dan aturan saja tanpa memberikan pemahaman latar belakangnya, demikian juga pekerja dilibatkan dalam penerapannya dan diberikan kesempatan untuk memberikan masukan, sehingga bersama-sama bisa menciptakan tempat kerja yang aman,” tuturnya.

Orang tidak akan peduli kalau tidak mendapatkan pemahaman, sehingga kalau pekerja sudah ada kepedulian, maka akan menjadi tindakan dan perilaku.

Jadi pekerja harus dipahamkan, setelah paham baru ditumbuhkan kepedulian agar berikutnya menjadi tindakan, dengan tindakan yang terus dilakukan maka akan menjadi sebuah perilaku dan itulah budaya K3 akan tercipta.

“Memang prosesnya tidaklah mudah, karena mesti banyak tantangan dan hambatan lainnya, tergantung dari budaya setempat,” ujarnya.

Edi Priyanto meneruskan beberapa faktor yang dimaksud adalah komunikasi yang belum dua arah. Selain itu tidak terdapat sumber daya manusia (SDM), pembiayaan, fasilitas, dan alat pelindung diri (APD).
“Masih banyak ditemukan perusahaan memandang K3 sebagai biaya, sehingga menjadi beban, padahal itu bagian dari investasi yang akan menjamin keberlangsungan usaha di masa mendatang,” ujarnya.

Hal yang tidak kalah penting dilakukan adalah memberikan edukasi dan komunikasi kepada calon pekerja sejak dini. Di saat ini Indonesia menghadapi bonus demografi yaitu generasi milenial dan Z, sehingga membutuhkan strategi komunikasi baru kepada kepada calon pekerja.

“Harus ada komunikasi yang kekinian. Agar pekerja milenial yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mau menjadi mau sehingga muncul kepedulian. Kalau ada kepedulian, ini akan menjadi perilaku dan perilaku yang menjadi kebiasaan itulah budaya (culture) terbentuk”, tegasnya.

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim, Dwi Ken Hendrawanto mengamini penerapan K3 adalah investasi. Namun, sejauh ini masih dijumpai masih ada perusahaan yang masih menganggapnya sebagai beban.

“Belum semua (perusahaan) menyadari K3. Ada yang masih menganggapnya sebagai beban, bukan investasi. Utamanya perusahaan kecil menengah. Ini PR kita semua,” ucapnya.

Menciptakan dan membangun budaya K3, ucap Kabid Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Disnakertrans Jatim Tri Widodo, tidak bisa lepas dari UU nomor 1 Tahun 1970 yang mengatur K3 di tempat kerja.

UU yang sudah berumur 50 tahun ini belum banyak perubahan dan masalah penyakit akibat kerja (PAK) kurang mendapat porsi dengan berbagai sebab.

“Justru yang kurang mendapat porsi adalah PAK. Banyak perusahaan enggan mengakui. Padahal ini harus mendapat perlindungan,” ujarnya.

Dengan begitu pembuktian penyakit akibat kerja butuh proses dan waktu lantaran tiap-tiap jenis usaha memiliki risiko berbeda. Hal ini juga kembali kepada kondisi kesehatan pekerja sejak awal masuk. (adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button