Event HSE

Praktisi K3 Khawatir Kebakaran Kembali Akan Terjadi di Pertamina

Depo Plumpang Pertamina juga belum melaksanakan Undang-Undang (UU) nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Jakarta, isafetymagazine.com – Indonesia ISO Expert Association (IIEA) khawatir insiden mirip kebakaran Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang milik Pertamina akan terjadi di daerah lain.

Pasalnya, pipa-pipa minyak kepunyaan perusahaan ini yang terbentang dari Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) sampai Padalarang, Jawa Barat (Jabar) melintasi pemukiman penduduk.

“Melihat kejadian yang ada, kalau melihat sumber yang ada atau lokasi migas itu dikaitkan dengan kedekatan masyarakat atau korban atau pemicu. Hal-hal yang mirip Plumpang potensinya banyak sekali,” kata Dewan Pengawas IIEA, Waluyo.

Hal ini disampaikannya dalam ‘IIEA Forum-Discussion: Lesson Learned From Plumpang Accident’ pada Kamis (9/3/2022).

Faktor-faktor lainnya kebakaran serupa Plumpang bisa berlangsung di tempat lain di Tanah Air lantaran mayoritas fasilitas TBBM Pertamina dibangun sekitar 1970-1980.

“Pada saat itu dibangun sudah remote area di mana kanan dan kiri masih bebas di mana expose work,” ujarnya.

Waluyo meneruskan penduduk tidak hanya dapat menjadi korban dari peristiwa kebakaran fasilitas Pertamina, tapi mereka bisa sebagai pemicu kejadian tersebut.

“Tidak menutup kemungkinan hasil investigasi (kebakaran Plumpang), penduduk yang dekat flammable sources bisa menjadi ignition, bisa juga menjadi korbannya, kalau tidak dikelola dengan baik,” ucapnya.

Dengan demikian, peristiwa kebakaran TBBM Plumpang berpotensi terjadi di wilayah lain di Nusantara. Sebab, fasilitas yang dibangun Pertamina dinilai sudah rentan pada saat sekarang lantaran sudah berusia hampir 53 tahun.

“Kejadian-kejadian serupa barangkali hanya nunggu waktu bisa terjadi lagi, sehingga bagaimana apa yang bisa kita lakukan supaya tidak terjadi lagi,” tuturnya.

Pada kesempatan yang sama Ketua Komisi II Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), Subkhan, menambahlam kejadian kebakaran Depo Plumpang Pertamina mengingatkan perbaikan konstruksi mesti dilakukan pemilik fasilitas migas secara kontinyu.

Langkah ini harus dilakukannya dengan memperhitungkan tingkat keekonomian Quality Health, Safety, Security, and Environment (QHSSE).

“Kita perlu analisa metode WOOP-nya, wise-nya mau ngapaian, apakah kita cukup hanya bisnisnya maju atau cukup zero accident (nirkecelakaan) saja atau operational excellent-nya dengan nilai tertentu dan sebagainya,” ucapnya.

Namun, perusahaan juga harus memikirkan ekonomi keberlanjutan yang menitikberatkan pada aspek kenyamanan, keselamatan, dan keamanan penduduk dan lingkungan sekitar. Hal ini mesti masuk rencana sistem dan pengendalian kecelakaan dan bisnis.

“Kadang-kadang kita lupa mencatatnya ini,” ujarnya.

Subkhan mengaku selama ini aspek keselamatan teknis selalu diprioritaskan dalam pembangunan konstruksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina.

Kalau flow-nya tidak memenuhi kaidah, maka ini tidak bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya yakni quality.

“Kalau ini sudah lolos, kita bahas aspek HSE (Health, Safety, and Environment), kalau ini tidak lolos, balik lagi ke engineering sesuai prinsip ISO (International Standard Organization,” ucapnya.

Buffer Zone
Waluyo mengemukakan buffer zone (daerah penyangga) perlu dibuat Pertamina antara lokasi fasilitasnya dengan tempat tinggal masyarakat. Langkah ini guna mengurangi potensi insiden seperti kebakaran fasilitas perusahaan dengan penduduk sekitar.

“Bagaimana mengelola berbagai kepentingan khususnya adalah warga yang di pinggiran fasilitas migas tadi,” kata dia.

Sebenarnya, jarak pemukiman warga ke Depo Plumpang, ujar Subkhan, harus sudah masuk manajemen risiko pengelolaan fasilitas tersebut oleh Pertamina. Jadi, hal ini bisa masuk 10 besar manajemen risiko yang disusunnya.

“Penanganan relokasi penduduk yang punya sertifikat tanah ditertibkan sesuai ketentuan, yang tidak punya kita lakukan treatment sesuai GCG (Good Corporate Government),” ujarnya.

Selain itu perlu dipikirkan sosial ekonomi penduduknya, yakni jika mereka direlokasi, maka bagaimana mata pencariannya sehari-hari. Apakah di tempat relokasi bisa lebih baik pendapatannya.

“Turunan ekonominya mesti dipikirkan tidak hanya sesaat hunian saja,” tuturnya.

Chairman World Safety Organization (WSO), Soehatman Ramli, mengungkapkan pemukiman penduduk di sekitar TBBM Depo Plumpang Pertamina padat.

Hal yang sama juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia seperti Cilacap, Jateng dan Surabaya, Jawa Timur (Jatim).

“Coba kita lihat di Depo BBM Jurang, Singapura, Depo BBM di Rotterdam, Belanda, dan Depo BBM Tokyo, Jepang jauh dari mana-mana,” ujarnya.

Penyebab, sejumlah tempat fasilitas Pertamina di daerah padat penduduk akibat pertumbuhan tinggi. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara lain yang mencapai pertumbuhannya rendah.

“Ini mengakibatkan resiko (fasilitas migas) kita tinggi,” ujarnya.

Solusinya, Pertamina mesti mewaspadai kejadian akan terjadi di fasilitasnya yang dekat dengan tempat tinggal penduduk. Masalah insiden di Depo Plumpang adalah akibat fasilitas ini dekat dengan pemukiman warga.

“Ini menimbulkan korban ketiga yakni masyarakat,” tuturnya.

Soehatman Ramli menduga kebakaran Depo BBM Plumpang terjadi akibat kebocoran cairan ini menyebar kemana-mana menimbulkan api yang merembet ke segala tempat seperti pemukiman penduduk.

Hal ini bisa terjadi akibat dari salahsatu dari tiga pilar yakni keteknikan, kesisteman, dan kemanusian.

“Pasti ada sesuatu yan miss (salah) di sini, sehingga kebakaran terjadi,” tuturnya.
Kebakaran pemukiman di Depo Plumpang telah terjadi pada 21 Agusus 2002. Saat itu pagar pembatas fasilitas TBBM Plumpang telah dipenuhi tempat tinggal liar penduduk.

“Waktu itu saya keluarkan dua alternatif yaitu pertama kita pasang pagar di sini, waktu saya masuk masih pakai pagar harmonica,” ujarnya.

Sebenarnya, penerapan buffer zone telah diusulkan kepada Pertamina di Depo BBM Plumpang, tapi ini belum dilaksanakan sampai sekarang.

Selama ini awareness hanya dilakukan oleh perusahaan saja, tetapi tidak dilaksanakan kepada masyarakat seperti penduduk tinggal di daerah rawan kecelakaan.

“Seolah-olah yang punya instalasi jalan sendiri, masyarakat juga jalan sendiri, tdiak ada simboi di sini. Padahal, di luar negeri ada ‘right to know’ yakni masyarakat dilibatkan,” ucapnya.

Padahal. implementasi buffer zone, Pakar Lingkungan, Yuniarto, telah diamanatkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta nomor 1 tahun 2012 Pasal 61 Ayat 2.

Buffer zone merupakan bagian dari aspek HSSE di sekitar wilayah tangka timbun yang rentan dengan risiko kebakaran.

“Semua ini sudah di-cover seharusnya sudah menjadi mandatory,” ucapnya.

Langgar Aturan
Depo Plumpang Pertamina juga belum melaksanakan Undang-Undang (UU) nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Walaupun, fasilitas ini dibangun pada 1974.

“Namun, Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) merupakan mandatory, jadi harus dibuat,” tuturnya.

DELH mengaudit berbagai kegiatan yang sudah berlangsung di Depo Plumpang. Dokumen ini harus dibuat dan dilaksanakan Pertamina.

“Ada delapan parameter diuraikan sebagai izin lingkungan yang dilaksanakan Pertamina diawasi oleh Pemprov DKI Jakarta dan dilaporkan oleh Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta,” ujarnya.

Yuniarto meneruskan selama ini fasilitas permukaan di tanah Depo Plumpang yang padat teknologi sudah tampak oleh masyarakat. Namun, hal ini berbeda dengan fasilitas yang terdapat di dalam tanah.

“Itulah banyak yang tidak faham bahwa memindahkan depo ini tidak sederhana, karena konstruksi di bawah depo tidak sederhana,” ujarnya.

Apalagi, sejak 2010 teknologi sudah diterapkan Pertamina di sana yakni New Gantry System dan pengelolaan ini telah diakui dunia sangat efisien nomor dua setelah Saudi Arabia Aramco.

“Ini yang saya sebut sebagai padat teknologi,” ucapnya.

Investigasi dan Local Point
Sementara itu Dewan Pengawas IIEA, Rudiyanto meminta investigasi kebakaran Depo Plumpang melibatkan semua pihak, tidak hanya Pertamina, kepolisian, dan Pemprov DKI Jakarta.

Namun, ini juga mengikusertakan para praktisi keselamatan dan kecelakaan kerja (K3).

“Tim investigasi perlu melibatkan berbagai expertise yang ahli dalam bidangnya da menyampaikan hasilnya kepada publik,” ucapnya.

Dengan demikian, format baku dapat dibuat tentang mekanisme identifikasi, pengendalian, monitoring, pelaporan, dan investigasi.

Selain itu local point untuk competent authority (penanggungjawab) kebakaran Depo Plumpang mesti ditetapkan oleh pemerintah kepada pihak yang tepat.

Apakah ini Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kementerian ESDM, atau Kemnaker.

“Kalau di Kementerian Perhubungan ada KNKT, apakah di migas perlu dibentuk lembaha independen yang menangani hal tersebut, supaya local point-nya jelas,” ucapnya.

Dengan demikian, masyarakat tidak bingung dalam rantai komando nntuk diikutinya. Selama ini banyak pihak yang merasa sebagai leading sector dalam suatu persoalan. (adm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button